Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
bendera Iran. (unsplash.com/mostafa meraji)
bendera Iran. (unsplash.com/mostafa meraji)

Intinya sih...

  • Iran kritik Eropa yang terlalu patuh pada AS

  • Pemimpin Iran keluhkan rendahnya produksi minyak

  • Iran tetap buka pintu diplomasi

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Iran siap membatasi program pengayaan uranium dan menerima kembali pengawasan nuklir yang ketat. Syaratnya, seluruh sanksi internasional terhadap negaranya harus dicabut. Tawaran ini disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Iran, Seyyed Abbas Araghchi dalam sebuah tulisan di The Guardian.

Saat ini, tiga negara Eropa, Inggris, Prancis, dan Jerman, justru ingin memberlakukan kembali sanksi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Ketiga negara yang dikenal sebagai E3 tersebut sedang memproses mekanisme "snapback" untuk menekan Teheran.

1. Iran kritik Eropa yang terlalu patuh pada AS

Menlu Araghchi mengkritik sikap tiga negara Eropa itu. Dia menyebut peran Eropa sudah berubah dari penengah menjadi hanya pendukung kebijakan Amerika Serikat (AS).

Menurut Araghchi, langkah Eropa untuk mengembalikan sanksi tidak punya dasar hukum. Ia mengingatkan bahwa AS lebih dulu keluar dari perjanjian nuklir 2015 (JCPOA), sehingga tindakan Iran setelahnya adalah sah.

Araghchi juga menyebut Eropa gagal memenuhi janji ekonominya kepada Iran. Janji untuk melindungi perdagangan Iran dari sanksi AS yang kembali berlaku pada 2018 disebut tidak pernah terwujud.

Eropa juga dinilai semakin tidak relevan di mata AS karena terlalu patuh. Washington disebut telah mengesampingkan Eropa dalam isu-isu penting dunia.

"Presiden Donald Trump telah memperjelas bahwa dia memandang E3 sebagai aktor sampingan. Ini terbukti dari cara Eropa dikesampingkan dari isu-isu yang penting bagi masa depannya, termasuk konflik Rusia-Ukraina. Pesan dari Washington sangat jelas: untuk mendapatkan relevansi, E3 harus menunjukkan kesetiaan yang tak tergoyahkan," tutur Araghchi, dikutip dari The Guardian pada Senin (8/9/2025).

2. Pemimpin Iran keluhkan rendahnya produksi minyak

Tawaran Iran ini diduga muncul karena adanya tekanan ekonomi di dalam negeri. Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, bahkan mengeluhkan rendahnya produksi minyak negara itu.

Khamenei menyebut peralatan dan metode produksi minyak Iran sudah ketinggalan zaman. Hal itu membuat Iran tertinggal dari negara-negara kaya minyak lainnya.

Sanksi dari negara-negara Barat, terutama AS, menjadi penyebab utama lumpuhnya industri minyak Iran. Sanksi ini menghambat modernisasi dan penjualan minyak ke pasar global.

Akibatnya, Iran kini sangat bergantung pada China sebagai pembeli utama minyaknya. Sekitar 92 persen minyak Iran dijual ke China, seringkali dengan harga diskon, dilansir Strait Times.

3. Iran tetap buka pintu diplomasi

Presiden Rusia, Vladimir Putin dan Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei. (Kremlin.ru, CC BY 4.0 <https://creativecommons.org/licenses/by/4.0>, via Wikimedia Commons)

Upaya perundingan damai antara Iran dan AS saat ini menemui jalan buntu. Pertemuan yang dijadwalkan pada 15 Juni lalu ditunda tanpa batas waktu yang jelas.

Penundaan terjadi setelah Israel dan AS mengebom tiga fasilitas nuklir milik Iran. Serangan tersebut dilancarkan hanya dua hari sebelum perundingan dimulai.

Di tengah situasi ini, Araghchi mengeluarkan peringatan keras terhadap Israel. Ia menyebut angkatan bersenjata Iran siap dan mampu mengalahkan Israel jika perang kembali terjadi.

"Jika Eropa benar-benar menginginkan solusi diplomatik, dan jika Presiden Donald Trump ingin fokus pada isu-isu nyata yang bukan hasil rekayasa Israel, mereka perlu memberi ruang dan waktu untuk diplomasi. Cara lain kemungkinan besar tidak akan berjalan dengan baik," tulis Araghchi.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team