Itimad al-Qanou, seorang pengungsi dari Jabalia, Gaza utara, berjuang untuk memberi makan ketujuh anaknya di tengah krisis yang berlangsung. Mereka sekeluarga kini tinggal di tenda di Deir Al-Balah, Gaza tengah.
Perempuan itu terkadang merasa kematian adalah cara terbaik untuk mengakhiri penderitaan keluarganya. Agresi militer Israel di Gaza selama setahun terakhir telah menyebabkan lebih dari 43 ribu warga Palestina tewas, menghancurkan sebagian besar wilayah tersebut dan memaksa banyak warga hidup dalam kelaparan.
"Biarkan mereka menjatuhkan bom nuklir dan mengakhirinya. Kami tidak menginginkan kehidupan yang kami jalani ini; kami sekarat perlahan-lahan. Kasihanilah kami. Lihatlah anak-anak ini," ujar al-Qanou.
“Tidak ada yang memperhatikan kami, tidak ada yang peduli dengan kami. Saya meminta negara-negara Arab untuk mendukung kami, setidaknya membuka perbatasan sehingga makanan dan perbekalan dapat menjangkau anak-anak kami,” tambahnya.
Selain kelaparan, warga Gaza mengatakan bahwa mereka tidak punya tempat yang aman untuk berlindung. Evakuasi yang berulang memaksa mereka pindah berkali-kali demi menghindari serangan lebih lanjut.
Beberapa warga bahkan menganggap penderitaan mereka kali ini lebih buruk daripada Nakba pada 1948, ketika ratusan ribu warga Palestina terpaksa meninggalkan rumah mereka akibat perang yang melahirkan negara Israel.
“Kondisi saat itu lebih baik dari apa yang kami hadapi sekarang. Sekarang, kami tidak punya keamanan, dan tidak ada tempat,” kata pengungsi lainnya, Mohamed Abou Qaraa.