Presiden Prabowo Subianto saat tiba di Tanah Air usai kunjungan Sidang Umum PBB di New York, Amerika Serikat. Prabowo tiba di Indonesia melalui Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma, Sabtu (27/9/2025) sekitar pukul 15.30 WIB. (YouTube/Sekretariat Presiden)
Dalam satu tahun penuh, Presiden Prabowo tercatat melakukan 34 kunjungan luar negeri ke 25 negara selama 63 hari. Lawatan tersebut mencakup hampir seluruh kawasan strategis dunia, Asia, Eropa, Amerika, Afrika, dan Australia.
Malaysia menjadi negara yang paling sering dikunjungi, mencerminkan prioritas Indonesia di kawasan ASEAN, disusul Uni Emirat Arab, Mesir, Qatar, Singapura, dan Rusia.
Mayoritas kunjungan dilakukan dalam format pertemuan bilateral langsung dengan kepala negara, menandakan pendekatan personal diplomacy yang kuat. Fokusnya bukan hanya simbolik, melainkan konkret: penguatan kerja sama ekonomi, pertahanan, energi, dan pangan.
Namun, pendekatan personal diplomacy yang kuat, dengan Presiden sebagai aktor utama, juga membawa konsekuensi struktural. Diplomasi menjadi sangat bergantung pada figur kepala negara, sementara peran diplomasi teknokratik, melalui kementerian, duta besar, dan mekanisme regional, berisiko tersubordinasi. Ketergantungan semacam ini dapat menciptakan kerentanan, terutama ketika dinamika global menuntut respons cepat yang tidak selalu bisa ditangani melalui diplomasi tingkat tinggi.
Dari sisi kawasan, dominasi kunjungan ke negara-negara tertentu seperti Malaysia dan Uni Emirat Arab mencerminkan prioritas pragmatis Indonesia pada stabilitas regional dan akses ekonomi. Namun, pola ini juga menunjukkan adanya ketidakseimbangan perhatian terhadap isu-isu strategis di kawasan lain, terutama Afrika dan Amerika Latin, yang selama ini kerap disebut sebagai bagian penting dari solidaritas Global South, tetapi relatif minim tindak lanjut konkret.