Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Menteri Luar Negeri Jepang Takeshi Iwaya bertemu dengan Menteri Luar Negeri Iran Abbas Aragchi (kanan) di sela-sela Sidang Majelis Umum ke-80 PBB di New York, AS, pada Selasa (23/9/2025). (x.com/MofaJapan_en)
Menteri Luar Negeri Jepang Takeshi Iwaya bertemu dengan Menteri Luar Negeri Iran Abbas Aragchi (kanan) di sela-sela Sidang Majelis Umum ke-80 PBB di New York, AS, pada Selasa (23/9/2025). (x.com/MofaJapan_en)

Intinya sih...

  • Pentingnya peran IAEA dalam verifikasi aktivitas nuklir Iran

  • Kesempatan hentikan sanksi snapback PBB terhadap Iran tertutup pada 28 September 2025

  • Iran sebut bernegosiasi dengan AS tidak membawa manfaat

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Jepang telah meminta Iran untuk segera melanjutkan kerja sama penuh dengan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) dan perundingan dengan Amerika Serikat (AS) terkait nuklirnya. Hal ini disampaikan Menteri Luar Negeri (Menlu) Jepang, Takeshi Iwaya, saat berdiskusi dengan Menlu Iran Abbas Araghchi di sela-sela pertemuan Sidang Majelis Umum ke-80 PBB di New York, pada 23 September 2025.

"Pentingnya mempertahankan dialog berlapis-lapis antara Jepang-Iran di tengah ketegangan yang sedang berlangsung di Timur Tengah," kata Iwaya, dikutip dari Kyodo News, Rabu (24/9/2025).

Iwaya juga menyampaikan harapan kuat Tokyo akan solusi diplomatik terkait masalah nuklir Teheran. Ia juga meminta Iran untuk mengambil tindakan cepat, guna menghindari penerapan kembali sanksi PBB pada akhir bulan.

1. Pentingnya peran IAEA terhadap verifikasi aktivitas nuklir Iran

Dalam pertemuan tersebut, Iwaya menyatakan Jepang sangat mementingkan upaya IAEA untuk memverifikasi aktivitas nuklir Iran. Menanggapi hal itu, Aragchi juga menjelaskan posisi Iran terkait masalah nuklir.

Sebelumnya, Iwaya telah bertemu dengan Direktur Jenderal IAEA Rafael Grossi. Pihaknya menyampaikan dukungan Tokyo terhadap upaya pengawas nuklir tersebut dalam membujuk Iran agar melanjutkan kerja sama dengan IAEA.

Pada 2 Juli, Iran memberlakukan undang-undang yang menangguhkan kerja sama dengan IAEA. Langkah ini diambil menyusul perang 12 hari antara Israel-Iran pada Juni, di mana Israel dan AS menyerang situs-situs nuklir Iran. Namun, pada 9 September, Iran-IAEA mencapai kesepakatan mengenai kemungkinan memulai inspeksi, tetapi masih ada pertanyaan mengenai implementasinya.

2. Kesempatan hentikan sanksi snapback PBB terhadap Iran tertutup pada 28 September 2025

Bendera Iran. (Unsplash.com/sina drakhshani)

Pada 28 Agustus 2025, Prancis, Jerman, dan Inggris (E3) mengatakan mereka telah memulai proses untuk penerapan kembali sanksi atau snapback PBB kepada Iran. Keputusan E3 mengenai mekanisme snapback didorong oleh apa yang mereka sebut sebagai ketidakpatuhan Teheran terhadap komitmen nuklirnya. Ini termasuk cadangan uranium yang jauh melebihi batas yang ditetapkan oleh kesepakatan nuklir 2015 (Joint Comprehensive Plan of Action/JCPOA).

Batas waktu yang akan datang agar sanksi tersebut berlaku adalah 30 hari, yakni 28 September 2025, kecuali Barat dan Iran mencapai kesepakatan diplomatik.

Negara-negara Eropa telah menyatakan bahwa mereka bersedia memperpanjang batas waktu, jika Teheran melanjutkan perundingan langsung dengan Washington mengenai program nuklirnya. Serta, mengizinkan inspektur nuklir PBB mengakses lokasi nuklirnya, dan menjelaskan keberadaan lebih dari 400 kg uranium yang diperkaya tinggi, yang dilaporkan oleh badan pengawas nuklir PBB, AP News melaporkan.

3. Iran sebut bernegosiasi dengan AS tidak membawa manfaat

Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei. (x.com/khamenei_ir)

Pekan ini, pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei menyampaikan pidato yang mengatakan bahwa negaranya tidak pernah menyerah pada tekanan terkait masalah pengayaan uranium dan tidak akan pernah melakukannya. Alasannya, pengayaan uranium berdampak pada berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk pertanian, lingkungan, energi listrik, kedokteran, industri, dan bidang lainnya.

"Mereka datang dan membom fasilitas pengayaan uranium Iran di berbagai tempat. Namun, pengayaan uranium adalah ilmu pengetahuan, dan ilmu pengetahuan tidak dapat dihancurkan. Ilmu pengetahuan tidak dapat dihilangkan dengan bom, ancaman, dan hal-hal semacam itu," kata Khamenei, dikutip dari X.

"Hari ini, kami telah mencapai tingkat kemajuan yang tinggi dalam pengayaan uranium. Sementara, negara-negara yang bertujuan mengembangkan senjata nuklir mengayakan uranium hingga 90 persen, kami membatasi pengayaan pada 60 persen karena kami tidak memerlukan senjata semacam itu dan tidak berniat mengejar senjata nuklir," sambungnya.

Khamenei menjelaskan bahwa terdapat 10 negara di dunia yang mampu melakukan pengayaan uranium, salah satunya adalah Iran. Namun, 9 negara lainnya memiliki bom nuklir, sementara Iran tidak memilikinya. Ia juga menyebut meski negaranya memiliki kemampuan pengayaan, tetapi Teheran tidak akan memiliki bom nuklir karena tidak berniat menggunakan senjata nuklir.

Pemimpin tertinggi Iran tersebut menggarisbawahi bahwa dalam situasi saat ini, bernegosiasi dengan pemerintah AS tidak akan bermanfaat bagi kepentingan negaranya. Sebab, Washington telah menentukan hasil negosiasi secara sepihak, yakni penghentian pengayaan nuklir di Iran. Menurutnya, ini bukan negosiasi, tetapi perintah.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team