AS Tetapkan 4 Kelompok Irak yang Didukung Iran Masuk Daftar Teroris

- Empat kelompok milisi Irak didukung Iran masuk dalam daftar FTO AS.
- Kelompok HAAA terlibat dalam serangan drone di Yordania, sementara HAN dekat dengan Teheran
- KSS dan KIA pernah mengancam pasukan AS, merupakan bagian dari aliansi "Perlawanan Islam di Irak".
Jakarta, IDN Times- Amerika Serikat (AS) menetapkan empat kelompok milisi Irak yang didukung Iran sebagai Organisasi Teroris Asing (FTO). Pengumuman ini disampaikan oleh Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio pada Rabu (17/9/2025), yang menargetkan kelompok Harakat al-Nujaba (HAN), Kata’ib Sayyid al-Shuhada (KSS), Harakat Ansar Allah al-Awfiya (HAAA), dan Kata’ib al-Imam Ali (KIA).
Langkah ini meningkatkan status sebelumnya, di mana keempat kelompok tersebut telah masuk dalam daftar Teroris Global yang Ditunjuk Secara Khusus (SDGT). Washington menyatakan tindakan ini bertujuan untuk mengganggu kemampuan kelompok ini menyerang personel AS di Timur Tengah.
“Sebagai sponsor terorisme paling terkemuka di dunia, Iran terus memberikan dukungan yang memungkinkan milisi-milisi ini merencanakan, memfasilitasi atau secara langsung melakukan serangan di seluruh Irak,” ujar Rubio, dilansir The National.
1. Rincian kelompok yang masuk daftar teroris
Salah satu kelompok yang ditargetkan, Harakat Ansar Allah al-Awfiya (HAAA), diidentifikasi terlibat langsung dalam serangan drone mematikan di Tower 22, Yordania. Insiden yang terjadi pada Januari 2024 itu menewaskan tiga personel militer AS.
Sementara itu, HAN dikenal memiliki hubungan yang sangat erat dengan Teheran dan secara terbuka menyatakan kesetiaannya kepada Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei. Kelompok ini juga dikenal dekat dengan mendiang komandan Pasukan Quds Garda Revolusi Iran (IRGC), Qasem Soleimani.
Dua kelompok lainnya, KSS dan KIA, juga pernah mengancam pasukan AS. Anggota KIA bahkan dilaporkan telah menerima pelatihan militer langsung di Iran serta dari kelompok Hizbullah di Lebanon.
Keempat milisi ini merupakan bagian dari aliansi yang lebih besar yang disebut "Perlawanan Islam di Irak" (IRI), yang berafiliasi dengan "Poros Perlawanan" dukungan Iran. Teheran dituding memberikan dukungan militer, pendanaan, logistik, hingga persenjataan canggih kepada mereka
2. Konsekuensi dari status teroris
Perubahan status dari SDGT menjadi FTO membawa konsekuensi yang jauh lebih berat bagi keempat kelompok milisi tersebut. Klasifikasi FTO memberlakukan sanksi dan hukuman pidana yang lebih keras bagi siapa pun yang terbukti memberikan dukungan material kepada mereka.
Secara finansial, label ini memutus akses mereka ke sistem keuangan AS. Semua properti dan aset milik kelompok-kelompok ini yang berada di bawah yurisdiksi AS akan segera dibekukan.
Aturan ini juga melarang warga negara AS untuk terlibat dalam transaksi apa pun dengan entitas yang masuk dalam daftar. Lebih jauh lagi, individu atau lembaga non-AS yang tetap melakukan transaksi dengan mereka juga menghadapi risiko terkena sanksi sekunder dari Washington.
Penetapan ini sejalan dengan kebijakan AS terhadap proksi Iran lainnya, seperti Kata’ib Hizballah (KH) dan Asa’ib Ahl al-Haq (AAH), yang sudah lebih dulu ditetapkan sebagai FTO. Tindakan hukum ini diambil berdasarkan pasal 219 Undang-Undang Imigrasi dan Kebangsaan AS, dilansir Al Monitor.
3. Sanksi dinilai kurang efektif
Kebijakan ini merupakan bagian dari kampanye tekanan maksimum yang dijalankan pemerintahan Donald Trump terhadap Iran. AS menekan Teheran untuk memotong aliran dana yang mengalir ke proksi-proksinya di kawasan Timur Tengah.
Sebelumnya, AS juga menjatuhkan sanksi terhadap jaringan internasional yang berbasis di Hong Kong dan Uni Emirat Arab. Jaringan tersebut dituduh membantu memfasilitasi penjualan minyak Iran secara ilegal untuk mendanai program militer IRGC.
Namun, pengamat dari Middle East Institute, Alex Vatanka, menilai kelompok-kelompok ini dapat dengan mudah menghindari sanksi dengan berganti nama. Ia juga memperingatkan, Iran dan sekutunya dapat memanfaatkan isu ini untuk menggalang dukungan menjelang pemilihan umum parlemen di Irak.
"Mereka bisa saja menyamar atau bergabung dengan partai politik. Permainan ini telah berlangsung selama 20 tahun, jika ada yang berpikir sanksi dapat mengubahnya, itu tidak benar," ujar Vatanka.