Jepang Ubah Batas Usia Konsen Hubungan Seks dari 13 Jadi 16 Tahun

Jakarta, IDN Times - Parlemen Jepang pada pekan lalu setuju menaikkan usia kesadaran seksual dari 13 menjadi 16 tahun. Kebijakan ini agar pelaku kekerasan seksual yang menyasar anak-anak di bawah 16 tahun dapat dihukum sesuai peraturan baru.
Kesadaran seksual di Jepang terus mendapat sorotan karena termasuk yang terendah dari seluruh anggota G7. Rencana ini mencuat ke permukaan pada 2019, usai kasus pemerkosaan ayah terhadap anaknya secara berulang kali menimbulkan kemarahan publik.
Dilaporkan NHK, ayah perempuan itu akhirnya dibebaskan dari jeratan hukum. Pengadilan menganggap bahwa kasus tersebut sangat sulit diputuskan karena anak merupakan bawahannya. Jaksa menganggap anak itu seharusnya dapat melindungi dirinya sendiri.
1. Spesifik terhadap upaya membuat korban tak sadar
Revisi Undang-Undang (UU) ini meliputi perubahan nama kasus kriminal 'pemaksaan berhubungan seksual' menjadi 'hubungan seksual tanpa kesadaran'. Sedangkan kriminal 'pemaksaan lewat tindakan yang tidak baik' diubah menjadi 'tindakan buruk tanpa kesadaran'.
UU tersebut juga memberikan pernyataan spesifik untuk pertama kalinya ke dalam delapan tipe aksi kriminal. Tipe tersebut termasuk membuat mabuk korban dengan alkohol atau obat-obatan terlarang, tidak memberikan korban ruang untuk menolak, dan menakut-nakuti atau mengejutkan korban, serta menyerang atau mengintimidasi korban.
Ketika pelaku melakukan tindakan di atas, korban akan cenderung kesulitan mengaku karena tidak sadar jika telah berhubungan seksual. Para pelaku nantinya akan dikenakan dakwaan hubungan seksual tanpa kesadaran atau perlakuan buruk.
Sesuai UU terbaru, siapapun yang melakukan kejahatan seksual kepada seseorang yang berada di bawah 16 tahun terancam mendapat hukuman di atas. Namun, hukuman ini tidak berlaku antara dua orang yang berada di dalam kelompok umur yang sama.
2. Stigma negatif membuat korban enggan melapor
Dilansir BBC, Kepala Presiden Human Rights Now Kazuko Ito mengungkapkan, reformasi hukum ini hanya menyelesaikan satu bagian dari masalah kekerasan seksual di Jepang. Ia menyebut masalah distorsi seksual dan kesadarannya harus dibenarkan kepada seluruh generasi.
Penyintas kekerasan seksual yang tersebar ke masyarakat kerap mendapat ancaman dan komentar buruk secara online. Meski reformasi sudah diterapkan, para korban tetap harus memperkuat diri untuk melaporkan kasus serangan kepadanya.
Banyak kasus penyintas kekerasan seksual di Jepang menolak mengaku dan melapor karena takut mendapat stigma negatif dan dipermalukan. Menurut survei pemerintah pada 2021, hanya 6 persen dari perempuan dan laki-laki yang melapor. Setengah dari perempuan mengaku tidak akan melapor karena takut dipermalukan.
"Pelajaran dan upaya pendidikan di seluruh negeri sangat penting untuk menyelesaikan masalah yang tertanam di masyarakat. Ini adalah satu-satunya cara mencegah kekerasan seksual disertai dengan penghapusan budaya impunitas," kata Ito.
3. Jepang tidak mengubah hukum kekerasan seksual selama satu abad
Sejak 1907, Jepang belum pernah mengubah usia kesadaran seksualnya hingga saat ini. Artinya, remaja berusia 13 tahun ke atas sudah dianggap sadar dan cukup dewasa menyadari hubungan seksual, dikutip The Guardian.
Jepang terakhir kali mengubah hukum kriminal terhadap kekerasan seksual pada 2017 lalu. Namun, sejumlah pihak merasa reformasi hukum tersebut masih belum cukup. Protes pun berlanjut usai diampuninya kasus pemerkosaan ayah terhadap anak pada 2019 yang menyulut kemarahan publik.
Berdasarkan revisi ini, pelaku yang terbukti melakukan aksi kekerasan seksual dengan sejumlah tipe yang disebutkan di atas terancam mendapat hukuman 1 tahun penjara atau mendapat denda hingga 500 ribu yen (Rp52,8 juta).