Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Pemimpin junta Myanmar Min Aung Hlaing. (Mil.ru, CC BY 4.0 , via Wikimedia Commons)
Pemimpin junta Myanmar Min Aung Hlaing. (Mil.ru, CC BY 4.0 , via Wikimedia Commons)

Intinya sih...

  • Pemilu Myanmar dibayangi boikot dan perang saudara.

  • Banyak daerah di bawah kelompok perlawanan pro-demokrasi.

  • Junta dituduh berupaya mengamankan kekuasaan lewat pemilu.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Pemerintah militer Myanmar mengumumkan pemilihan umum (pemilu) akan mulai diselenggarakan pada 28 Desember 2025. Pemilu ini akan menjadi yang pertama sejak kudeta militer pada Februari 2021 yang menggulingkan pemerintahan sipil pimpinan Aung San Suu Kyi.

Komisi Pemilihan Umum Persatuan (UEC) yang dibentuk junta menyatakan pada Senin (18/8/2025), pemungutan suara akan dilaksanakan secara bertahap. Tanggal 28 Desember ditetapkan sebagai fase pembuka, sementara jadwal untuk tahap-tahap selanjutnya akan diumumkan di kemudian hari.

Namun, rencana ini menuai kritik karena dianggap sebagai upaya junta untuk melegitimasi kekuasaannya di tengah konflik internal yang parah.

1. Pemilu Myanmar dibayangi boikot dan perang saudara

Rencana pemilu ini diumumkan saat perang saudara masih berkecamuk di sebagian besar wilayah Myanmar. Kondisi tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai kelayakan dan keamanan proses pemungutan suara di seluruh negeri.

Junta militer diyakini hanya mengendalikan kurang dari separuh total wilayah negara. Banyak daerah kini berada di bawah administrasi kelompok perlawanan pro-demokrasi dan berbagai organisasi etnis bersenjata yang menentang rezim militer.

Kelompok-kelompok tersebut menyatakan akan memboikot pemilu. Mereka bahkan berjanji akan berupaya menggagalkan proses pemungutan suara di wilayah-wilayah yang mereka kuasai.

Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi juga tidak dapat berpartisipasi dalam pemilu ini. Partai yang menang telak pada pemilu 2020 itu telah dibubarkan oleh junta, dengan Suu Kyi dan para pemimpin lainnya kini mendekam di penjara.

2. Junta dituduh berupaya mengamankan kekuasaan lewat pemilu

Menjelang pemilu, junta telah mengambil langkah-langkah keras untuk memastikan rencana mereka berjalan sesuai agenda. Salah satunya adalah dengan memberlakukan undang-undang pemilu baru yang mengancam hukuman berat bagi para penentangnya.

Siapa pun yang terbukti menentang atau mengganggu jalannya pemilu dapat menghadapi hukuman penjara hingga 20 tahun, bahkan hukuman mati. Aturan ini juga berlaku bagi mereka yang merusak surat suara atau mengintimidasi pemilih dan kandidat.

Di sisi lain, junta dilaporkan mengintensifkan operasi militer untuk merebut kembali wilayah dari tangan oposisi. DilansirThe Independent, serangan udara junta telah menewaskan puluhan warga sipil dalam beberapa pekan terakhir, termasuk di sebuah rumah sakit dan pusat pertambangan.

"Saya rasa pemilu ini hanya diadakan untuk memberikan kekuasaan kepada diktator militer sampai dunia berakhir. Saya tidak berpikir pemilu ini akan membawa arti penting bagi rakyat," kata seorang warga di negara bagian Rakhine, dikutip dari CNA.

3. PBB kritik rencana pemilu

Komunitas internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), telah menyuarakan keprihatinan atas kredibilitas pemilu. Mereka menilai kondisi Myanmar saat ini tidak memungkinkan untuk dilaksanakannya pemungutan suara yang bebas, adil, dan inklusif.

Pelapor Khusus PBB untuk situasi hak asasi manusia di Myanmar, Tom Andrews, menyebut pemilu ini sebagai sebuah penipuan. Ia mendesak komunitas internasional untuk tidak mengakui hasil dari proses yang dinilai cacat tersebut.

"Junta sedang merancang sebuah tipuan pemilu untuk memberikan dirinya selubung legitimasi. Masyarakat internasional tidak boleh membiarkan junta militer lolos dengan penipuan ini," tutur Andrews, dilansir BBC.

Human Rights Watch (HRW) juga menyuarakan hal senada dan mendesak junta untuk memenuhi beberapa prasyarat penting sebelum pemilu. Prasyarat tersebut termasuk mengakhiri kekerasan, membebaskan semua tahanan politik, dan mengizinkan semua partai untuk berpartisipasi tanpa terkecuali.

Namun, di tengah kecaman global, rencana pemilu ini justru mendapat dukungan dari China yang memandang stabilitas Myanmar sebagai kepentingan strategisnya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team