UU Baru Myanmar: Junta Militer Akan Tangkap Penolak Pemilu

Jakarta, IDN Times - Junta militar Myanmar telah mengesahkan undang-undang baru yang menetapkan hukuman penjara bagi para pengkritik atau demonstran yang menentang pemilu. Undang-undang yang diboikot oleh kelompok oposisi tersebut disahkan pada Rabu (30/7/2025).
Junta merebut kekuasaan melalui kudeta pada 2021, yang memicu perang saudara di berbagai wilayah. Junta telah menggembar-gemborkan pemilu pada akhir 2025 sebagai jalan menuju perdamaian, dikutip dari The Straits Times.
1. Upaya junta melegitimasi pemerintahannya

Kelompok oposisi, termasuk anggota parlemen demokratis yang digulingkan oleh kudeta militer dan pemantau internasional, menyebut pemilu sebagai taktik untuk melegitimasi kekuasaan junta.
Surat kabar pemerintah The Global New Light of Myanmar menyebut beleid baru tersebut sebagai Undang-Undang tentang Perlindungan Pemilu Demokratis Multipartai dari Halangan, Gangguan, dan Penghancuran.
Naskah setebal 14 halaman melarang segala bentuk pidato, pengorganisasian, penghasutan, protes, atau penyebaran selebaran untuk menghancurkan sebagian dari proses pemilu.
2. Penjara minimal 3 tahun

Para terpidana menghadapi hukuman penjara antara tiga hingga tujuh tahun. Sementara, pelanggaran yang dilakukan secara berkelompok dapat mengakibatkan hukuman antara lima hingga 10 tahun.
Undang-undang ini juga melarang perusakan surat suara dan tempat pemungutan suara, serta intimidasi atau kekerasan terhadap pemilih, kandidat, dan petugas pemilu, dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara.
Jika ada yang terbunuh dalam upaya mengganggu pemilu, setiap orang yang terlibat dalam kejahatan tersebut menghadapi hukuman mati, demikian bunyi undang-undang tersebut.
3. Kegiatan pemerintah mendapat penolakan warga

Sebagai informasi, mayoritas wilayah Myanmar berada di luar kendali junta. Beberapa petugas sensus pemerintah yang dikerahkan pada 2024 untuk mengumpulkan data menjelang pemilu menghadapi perlawanan dan ancaman keamanan.
Para analis memperkirakan, banyaknya gerilyawan anti-kudeta dan kelompok etnis bersenjata yang diperangi junta militer mungkin akan melancarkan serangan menjelang pemungutan suara sebagai tanda perlawanan mereka.
Seorang pakar PBB pada Juni lalu mendesak masyarakat internasional untuk menolak rencana pemilu tersebut sebagai kecurangan.
Tom Andrews, pelapor khusus PBB untuk situasi hak asasi manusia di Myanmar, mengatakan junta militer berusaha menciptakan ilusi pemilu yang akan menciptakan pemerintahan sipil yang sah, dikutip dari The Hindu.