Musim dingin di Gaza tidak hanya memperparah krisis kemanusiaan, tetapi juga lebih banyak orang yang akan mati kedinginan terutama mereka yang rentan, orang tua dan anak-anak. (x.com/UNRWA)
Al Jazeera melaporkan, warga Palestina di Gaza harus menghadapi angin kencang, hujan, dan musim dingin di tenda-tenda usang, setelah rumah mereka hancur akibat pemboman Israel di daerah kantong tersebut.
Ratusan ribu warga Palestina telah kembali ke Gaza utara sejak gencatan senjata mulai berlaku pada 19 Januari, yang menghentikan serangan Israel selama 15 bulan di wilayah tersebut. Sekembalinya, sebagian besar warga mendapati rumah mereka hancur atau rusak parah. Sejak itu, keluarga-keluarga berjuang untuk mencari perlindungan di tengah tumpukan puing dan kehancuran di Gaza.
Dalam laporan terbarunya pada Rabu (5/2/2025), kantor urusan kemanusiaan PBB (OCHA) mengatakan dengan lebih dari 500 ribu orang kembali ke Gaza, kebutuhan terhadap makanan, air, tenda, dan bahan tempat tinggal daerah itu tetap kritis.
Meskipun pengiriman bantuan kemanusiaan meningkat sejak gencatan senjata berlaku pada bulan lalu, bantuan tempat tinggal masih terbatas. Awal pekan ini, Kantor Media Pemerintah Gaza menuduh Israel membatasi aliran bantuan dan tempat berlindung ke wilayah tersebut.
Di wilayah Gaza selatan, pemerintah kota Rafah telah meminta 40 ribu tenda tambahan dan unit tempat penampungan darurat bagi penduduk. Pihaknya juga mengatakan tidak memiliki cukup alat berat, sehingga menghambat pembukaan kembali jalan dan pembersihan puing-puing.
Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, perang Israel di wilayah kantong tersebut telah menewaskan 48.181 warga Palestina, sementara 111.638 orang mengalami luka-luka. Kantor media pemerintah telah memperbarui jumlah korban tewas menjadi setidaknya 61.709 orang, dan mengatakan bahwa ribuan orang hilang di bawah reruntuhan kini diperkirakan telah tewas.