Kapan Korea Selatan Jadi Negara Demokrasi?

- Korea Selatan meraih status negara demokrasi pada akhir abad ke-20 setelah perjuangan panjang masyarakat.
- Sebelumnya, negara ini dijajah Jepang dan dipisah oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet setelah Perang Dunia II.
- Pada 1987, desakan rakyat memaksa pemerintah untuk amandemen konstitusi, mengakhiri pemerintahan otoriter dan membuka jalan bagi demokrasi yang lebih kuat.
Korea Selatan, yang awalnya diperintah secara otoriter setelah Perang Dunia II, akhirnya berhasil meraih status sebagai negara demokrasi pada akhir abad ke-20. Proses ini tidak berjalan mulus, dengan berbagai perlawanan terhadap kekuasaan militer dan pemerintahan yang menindas hak-hak politik warga. Meskipun berbagai tantangan dihadapi, perjuangan panjang masyarakat Korea Selatan untuk demokrasi berhasil mencapai titik puncak pada 1987. Perubahan besar ini menjadi titik balik dalam sejarah politik negara tersebut, yang kini dikenal sebagai salah satu demokrasi paling stabil di Asia.
1. Awal otoritarianisme pasca Perang Dunia II

Meskipun Korea Selatan dikenal sebagai negara demokrasi, hal ini tidak terjadi seabad yang lalu. Sebelum semenanjung Korea terbagi menjadi Korea Utara dan Korea Selatan, negara yang saat itu bersatu itu dijajah oleh Jepang dari tahun 1910 hingga 1945. Jepang menyerah kepada Sekutu pada tahun 1945, tetapi Korea masih belum bebas. Karena tidak dapat menyetujui pemerintahan Korea yang bersatu, sekutu paling kuat di dunia (Amerika Serikat dan Uni Soviet) memecah belah negara itu. AS menduduki Republik Korea (di Selatan) sementara Soviet melakukan hal yang sama di Republik Rakyat Demokratik Korea (Korea Utara).
Setelah kemerdekaan Korea Selatan pada 1945, Syngman Rhee menjadi presiden pertama negara ini. Namun, pemerintahannya bersifat otoriter, membatasi kebebasan politik, dan menekan oposisi. Rhee mengandalkan militer untuk mempertahankan kekuasaannya, yang mengarah pada ketegangan politik dalam masyarakat. Meskipun ada beberapa upaya untuk memajukan demokrasi, kendali penuh tetap ada di tangan pemerintahannya. Pada 1960, protes besar terjadi setelah kecurangan pemilu yang mengarah pada pengunduran diri Rhee. Namun, meski Rhee mundur, otoritarianisme tetap berlangsung di bawah pemerintahan berikutnya.
2. Gerakan demokrasi dan puncak kekerasan: Pemberontakan Gwangju 1980
Pada akhir 1970-an, ketidakpuasan terhadap pemerintah otoriter semakin meningkat. Pada 1980, terjadi Gwangju Uprising atau Pemberontakan Gwangju, sebuah protes besar yang menuntut reformasi dan kebebasan politik. Pemerintah militer yang dipimpin oleh Chun Doo-hwan merespons dengan kekerasan brutal, menewaskan banyak warga sipil. Meski begitu, peristiwa ini menyalakan semangat gerakan pro-demokrasi yang semakin meluas. Keberanian rakyat Gwangju dan jatuhnya korban jiwa memberikan dampak yang besar terhadap kesadaran politik di seluruh negeri. Tragedi tersebut menjadi simbol perjuangan demokrasi dan hak asasi manusia di Korea Selatan.
3. Perubahan konstitusional 1987 dan pemilu langsung
Pada 1987, desakan besar-besaran dari rakyat memaksa pemerintah untuk mengubah konstitusi. Amandemen konstitusi ini memungkinkan pemilihan presiden dilakukan secara langsung oleh rakyat, bukan oleh pemilih terpilih. Roh Tae-woo terpilih sebagai presiden pertama melalui pemilu langsung tersebut. Momen ini menandakan berakhirnya sistem pemerintahan otoriter yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Dengan reformasi ini, Korea Selatan resmi memasuki era demokrasi yang lebih stabil. Sejak saat itu, negara ini telah menjalani proses demokratisasi yang terus berkembang hingga kini.
Proses transformasi Korea Selatan menjadi negara demokrasi tidak hanya melibatkan perubahan konstitusional, tetapi juga perjuangan keras rakyatnya yang menuntut hak-hak dasar mereka. Momen penting seperti peristiwa Gwangju pada 1980 dan amandemen konstitusi 1987 menjadi simbol semangat perubahan. Dengan reformasi tersebut, Korea Selatan berhasil mengakhiri masa pemerintahan otoriter dan membuka jalan bagi demokrasi yang lebih kuat dan inklusif. Kini, negara ini terus berkembang sebagai contoh keberhasilan transisi menuju demokrasi di kawasan Asia.