Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
bendera Kazakhstan
bendera Kazakhstan (unsplash.com/aboodi vesakaran)

Intinya sih...

  • Kazakhstan bergabung dalam Abraham Accords di tengah ketegangan Gaza

  • Abraham Accords adalah perjanjian normalisasi hubungan diplomatik antara Israel dan beberapa negara Arab

  • Bergabungnya Kazakhstan dengan Abraham Accords dapat membuka peluang bagi negara-negara Asia Tengah lain untuk mengikuti jejak serupa

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Lebih dari tiga dekade setelah menjalin hubungan diplomatik resmi dengan Israel, Kazakhstan mengumumkan akan bergabung dalam Abraham Accords — perjanjian normalisasi yang memulihkan hubungan antara Israel dan sejumlah negara Arab.

Pengumuman tersebut disampaikan pada Kamis (6/11/2025) menjelang pertemuan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dengan para pemimpin Asia Tengah di Washington. Langkah ini menandai babak baru bagi diplomasi Kazakhstan yang sejak lama dikenal menyeimbangkan hubungan dengan Barat, Rusia, dan dunia Islam.

Pemerintah Kazakhstan menyebut keikutsertaannya dalam Abraham Accords sebagai kelanjutan alami dari kebijakan luar negeri mereka yang berbasis pada dialog dan stabilitas regional.

“Partisipasi kami dalam Abraham Accords merupakan langkah logis untuk memperkuat kerja sama lintas kawasan demi perdamaian,” bunyi pernyataan resmi pemerintah Kazakhstan, dilansir dari BBC, Jumat (7/11/2025).

1. Langkah politik dan ekonomi di tengah ketegangan Gaza

Presiden Kazakhstan Kassym-Jomart Tokayev (Twitter.com/Qasym-Jomart Toqayev)

Keputusan Kazakhstan bergabung datang di tengah upaya Trump memposisikan diri sebagai mediator global setelah menengahi gencatan senjata rapuh di Gaza. Namun, langkah tersebut juga memunculkan pertanyaan etis, mengingat serangan Israel ke wilayah Palestina dan meningkatnya eskalasi di Lebanon.

Di sisi lain, Kazakhstan tampaknya memanfaatkan momentum ini untuk mempererat hubungan ekonomi dan strategisnya dengan Amerika Serikat. Dalam kunjungan Presiden Kassym-Jomart Tokayev ke Washington, kedua negara menandatangani perjanjian kerja sama terkait mineral penting yang menjadi komponen utama energi bersih dan teknologi tinggi.

Langkah itu mempertegas arah diplomasi multi-vektor Kazakhstan, tetap menjalin kedekatan dengan Barat, tanpa sepenuhnya menjauh dari pengaruh Rusia dan China.

2. Apa itu Abraham Accords?

Presiden Amerika Serikat Donald Trump (kanan) bertemu dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Gedung Putih pada 4 Februari 2025. (x.com/Prime Minister of Israel)

Abraham Accords pertama kali ditandatangani pada 2020 di bawah pemerintahan Donald Trump. Perjanjian ini menandai normalisasi hubungan diplomatik antara Israel dengan Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain, yang kemudian diikuti oleh Sudan dan Maroko.

Kesepakatan itu dianggap sebagai pencapaian besar dalam politik luar negeri AS karena memecah kebuntuan panjang antara Israel dan negara-negara Arab. Namun, banyak pengamat menilai Abraham Accords mengabaikan inti persoalan Palestina, karena normalisasi dilakukan tanpa kemajuan nyata menuju pembentukan negara Palestina merdeka.

Kritik juga datang karena perjanjian ini secara efektif melemahkan Arab Peace Initiative tahun 2002, yang mensyaratkan pengakuan Israel hanya jika Palestina memperoleh kedaulatan penuh.

Hingga saat ini, negara-negara yang telah menandatangani Abraham Accords, meliputi Uni Emirat Arab, Bahrain, Maroko, dan Sudan. Keempat negara itu secara resmi membuka hubungan diplomatik, perdagangan, dan kerja sama keamanan dengan Israel.

Meski perang Gaza telah menewaskan puluhan ribu warga Palestina dan menghancurkan sebagian besar wilayah tersebut, negara-negara peserta Abraham Accords belum memutuskan hubungan mereka dengan Israel.

UEA bahkan terus memperluas kerja sama investasi dan teknologi, sementara Maroko menjaga hubungan diplomatik sembari menyerukan de-eskalasi. Langkah Kazakhstan kini menjadikannya negara non-Arab pertama di Asia Tengah yang ikut menormalisasi hubungan di bawah payung perjanjian itu.

Bergabungnya Kazakhstan dengan Abraham Accords mencerminkan kebijakan luar negerinya yang pragmatis. Negara kaya sumber daya ini selama bertahun-tahun berupaya menjaga keseimbangan antara kepentingan Barat, hubungan historis dengan Rusia, dan kedekatan budaya dengan dunia Muslim.

Dengan masuk ke Abraham Accords, Kazakhstan berharap memperluas akses investasi, memperkuat kerja sama teknologi, dan meningkatkan stabilitas regional melalui dialog antaragama. Namun, para analis menilai langkah ini juga merupakan sinyal politik kepada Washington bahwa Kazakhstan siap memperdalam kerja sama strategis di tengah meningkatnya persaingan global.

Keterlibatan Kazakhstan juga dapat membuka peluang bagi negara-negara Asia Tengah lain, seperti Uzbekistan atau Kyrgyzstan untuk mengikuti jejak serupa, memperluas pengaruh perjanjian ini di luar Timur Tengah.

3. Dampak terhadap isu Palestina

pemandangan Jalur Gaza (unsplash.com/Mohammed Ibrahim)

Meskipun keputusan Kazakhstan menambah daftar negara yang menormalisasi hubungan dengan Israel, banyak pihak menilai efeknya terhadap isu Palestina tetap terbatas. Normalisasi semacam ini sering dinilai hanya memperkuat posisi Israel tanpa menekan perubahan kebijakan terhadap rakyat Palestina.

Namun, Kazakhstan menegaskan, langkahnya tidak dimaksudkan untuk mengabaikan perjuangan Palestina, melainkan untuk mendorong dialog dan stabilitas kawasan.

Di tengah meningkatnya ketegangan regional dan ketidakpastian global, bergabungnya Kazakhstan bisa menjadi simbol baru dari realpolitik Asia Tengah, mengedepankan kepentingan ekonomi dan keamanan di atas ideologi. Seiring dengan hal itu, Amerika Serikat di bawah Trump kembali menegaskan ambisinya untuk memperluas Abraham Accords, dengan target berikutnya yang diyakini adalah Arab Saudi.

Editorial Team