Presiden Amerika Serikat Donald Trump (kanan) bertemu dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Gedung Putih pada 4 Februari 2025. (x.com/Prime Minister of Israel)
Abraham Accords pertama kali ditandatangani pada 2020 di bawah pemerintahan Donald Trump. Perjanjian ini menandai normalisasi hubungan diplomatik antara Israel dengan Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain, yang kemudian diikuti oleh Sudan dan Maroko.
Kesepakatan itu dianggap sebagai pencapaian besar dalam politik luar negeri AS karena memecah kebuntuan panjang antara Israel dan negara-negara Arab. Namun, banyak pengamat menilai Abraham Accords mengabaikan inti persoalan Palestina, karena normalisasi dilakukan tanpa kemajuan nyata menuju pembentukan negara Palestina merdeka.
Kritik juga datang karena perjanjian ini secara efektif melemahkan Arab Peace Initiative tahun 2002, yang mensyaratkan pengakuan Israel hanya jika Palestina memperoleh kedaulatan penuh.
Hingga saat ini, negara-negara yang telah menandatangani Abraham Accords, meliputi Uni Emirat Arab, Bahrain, Maroko, dan Sudan. Keempat negara itu secara resmi membuka hubungan diplomatik, perdagangan, dan kerja sama keamanan dengan Israel.
Meski perang Gaza telah menewaskan puluhan ribu warga Palestina dan menghancurkan sebagian besar wilayah tersebut, negara-negara peserta Abraham Accords belum memutuskan hubungan mereka dengan Israel.
UEA bahkan terus memperluas kerja sama investasi dan teknologi, sementara Maroko menjaga hubungan diplomatik sembari menyerukan de-eskalasi. Langkah Kazakhstan kini menjadikannya negara non-Arab pertama di Asia Tengah yang ikut menormalisasi hubungan di bawah payung perjanjian itu.
Bergabungnya Kazakhstan dengan Abraham Accords mencerminkan kebijakan luar negerinya yang pragmatis. Negara kaya sumber daya ini selama bertahun-tahun berupaya menjaga keseimbangan antara kepentingan Barat, hubungan historis dengan Rusia, dan kedekatan budaya dengan dunia Muslim.
Dengan masuk ke Abraham Accords, Kazakhstan berharap memperluas akses investasi, memperkuat kerja sama teknologi, dan meningkatkan stabilitas regional melalui dialog antaragama. Namun, para analis menilai langkah ini juga merupakan sinyal politik kepada Washington bahwa Kazakhstan siap memperdalam kerja sama strategis di tengah meningkatnya persaingan global.
Keterlibatan Kazakhstan juga dapat membuka peluang bagi negara-negara Asia Tengah lain, seperti Uzbekistan atau Kyrgyzstan untuk mengikuti jejak serupa, memperluas pengaruh perjanjian ini di luar Timur Tengah.