Kenapa Pemanasan Global Harus Dibatasi 1,5 Derajat Celcius?

Jakarta, IDN Times - Angka 1,5 derajat Celcius menjadi sorotan utama dalam upaya penyelamatan bumi dari krisis iklim. Ini bukan sekadar angka acak, melainkan batas kenaikan suhu yang jika dilampaui bisa memicu serangkaian bencana yang sulit dikendalikan.
Di tengah berlangsungnya KTT Iklim COP29 di Baku, Azerbaijan, dunia semakin was-was karena suhu global sangat mendekati batas kritis ini.
Data terbaru menunjukkan tanda-tanda mengkhawatirkan. Periode Februari 2023 hingga Januari 2024 mencatat rekor sebagai periode 12 bulan pertama dengan suhu global melampaui 1,5 derajat Celcius.
Namun, bukan berarti segala upaya sudah gagal. Para ilmuwan menekankan bahwa target Perjanjian Paris mengacu pada rata-rata suhu jangka panjang selama beberapa dekade. Fluktuasi singkat seperti ini bisa dipengaruhi fenomena alam seperti El Nino.
Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) memperkirakan dalam 4 tahun ke depan, ada kemungkinan 66 persen suhu global akan melampaui ambang 1,5 derajat Celcius. Peningkatan ini dipicu oleh aktivitas manusia yang terus menghasilkan gas rumah kaca dan pemanasan tambahan dari fenomena El Nino.
1. Mengapa 1,5 derajat Celcius menjadi batas kritis?
Dilansir dari laman PBB, para ahli menggunakan periode 1850-1900 sebagai patokan untuk mengukur kenaikan suhu global. Masa tersebut dipilih karena merupakan era sebelum manusia mulai membakar bahan bakar fosil secara besar-besaran. Selain itu, periode ini juga menjadi awal pencatatan suhu global yang bisa dipercaya, dengan rata-rata suhu sekitar 13,5 derajat Celcius.
Profesor ilmu geosistem Universitas Oxford, Myles Allen, menjelaskan bahwa target 1,5 derajat ditetapkan berdasarkan kajian ilmiah mendalam. Penelitian menunjukkan pemanasan 2 derajat akan memicu bencana yang jauh lebih parah dan tak terkendali jika dibandingkan 1,5 derajat Celcius.
Melansir MIT News, saat ini kenaikan suhu global berada sekitar 1,15 derajat. Di angka ini saja dunia sudah mengalami bencana iklim yang mengerikan. Umat manusia menyaksikan cuaca ekstrem yang makin ganas, es di kutub yang mencair lebih cepat, dan kerusakan massal terumbu karang yang mengancam kehidupan laut.
Dampak pemanasan juga tidak terjadi secara merata di berbagai belahan dunia. Daerah Arktik memanas 4 kali lebih cepat dari rata-rata dunia sejak 1979. Sementara negara-negara berkembang dan pulau-pulau kecil, yang justru sedikit menyumbang emisi, malah paling menderita akibat perubahan iklim.