Jakarta, IDN Times – Nani bermukim di Ukraina sejak Desember 2012. Dia hijrah dari Jakarta menuju Kiev untuk mengikuti suaminya. Keluarga kecilnya kini sudah dianugerahi seorang putri kecil.
Universitas Indonesia (UI) menjadi saksi bisu pertemuan Nani dengan suaminya, yang saat itu sedang mengikuti program Darmasiswa untuk belajar bahasa Indonesia. Suratan takdir mempersatukan Nani dengan bule asal Ukraina yang sempat tinggal satu tahun di Depok.
“Waktu itu saya kuliah di Fisip UI, nah suami saya di sastra. Di situlah kenalnya,” kata Nani, yang juga baru hijrah ke Jakarta sejak kuliah.
Dua tahun pertama, perempuan berdarah Padang itu sempat mengajar bahasa Indonesia di Universitas Taras Shevchenko. Nani memutuskan resign sejak melahirkan putrinya, dan mendedikasikan hidupnya sebagai ibu rumah tangga.
“Jadi sudah tinggal 10 tahun di Ukraina,” kata dia, kepada IDN Times, melalui saluran Zoom.
Selama hidup di ibu kota, Nani tidak mendapati kebijakan yang diskirminatif terhadap penutur bahasa Rusia, tuduhan yang kerap dilayangkan oleh Kremlin terhadap pemerintahan Ukraina. Faktanya, banyak warga Kiev yang berbicara dengan bahasa Rusia.
“Gak ada itu sentimen anti-Rusia. Orang di sini cenderung bicara dua bahasa, Rusia dan Ukraina. Anak saya yang tujuh tahun sehari-hari juga pakai bahasa Rusia,” kata Nani.
Secara identitas, Nani memahami bahwa warga Ukraina dan Rusia berasal dari rumpun yang sama. Seperti suaminya yang masih memiliki saudara di Rusia. Sehingga, di akar rumput, hampir tidak ada alasan bagi dua bangsa ini untuk saling berperang.
“Sampai sebelum invasi ya hidup normal-normal saja,” tambahnya.
Dengan mengabaikan faktor historis dan sosiologis, warga Ukraina ternyata sangat ingin melepas belenggu yang selama ini diikat Rusia. Mereka ingin lebih dekat dengan negara-negara Barat melalui Uni Eropa (UE) dan NATO. Nani mengutip survei yang mengatakan bahwa 60 persen warga Ukraina setuju untuk bergabung dengan UE.
Tetapi, Viktor Yanukovych yang saat itu memimpin Ukraina ‘mengabaikan’ suara rakyat. Itulah yang melatarbelakangi Revolusi Ukraina 2014, yang juga dikenal dengan Euromaidan.
Awalnya, tuntutan masyarakat adalah integrasi Ukraina dengan UE. Kemudian snowball effect terjadi. Skala protes meluas karena masyarakat jengah dengan oligarki, korupsi, dan pelanggaran hak asasi manusia.
Puncak Euromaidan terjadi pada Februari 2014, ketika Yanukovych kabur ke Rusia kemudian parlemen memutuskan untuk memakzulkannya. Bagi rakyat Ukraina, lengsernya sang presiden Pro-Rusia adalah sebuah kemenangan, meski harus ditukar dengan lebih dari 120 nyawa imbas bentrokan dengan aparat.
“Sampai sekarang rumah Yanukovych dijadikan sebagai museum korupsi. Setelah itu (pelengseran) perekonomian mulai meningkat, dan kehidupan kembali seperti biasa,” kata Nani.