Pulau Sipadan (unsplash.com/Johnny Chen)
Sementara, Indonesia sangat terpukul dengan keputusan Mahkamah Internasional (MI) pada 2003 lalu yang mengumumkan kedaulatan Pulau Sipadan dan Ligitan berada di bawah Malaysia. Dalam proses voting di MI, 16 hakim memihak kepada Malaysia. Sedangkan, hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia.
Dari 17 hakim yang menyidangkan proses sengketa dua pulau itu, 15 di antaranya merupakan hakim tetap dari MI. Satu hakim pilihan dari Malaysia dan satu hakim sisanya dipilih oleh Indonesia.
"Pemerintah Indonesia menerima keputusan akhir Mahkamah Internasional (MI), dan saya sungguh berharap keputusan MI dalam masalah ini dapat menutup satu babak dalam sejarah bilateral antara Indonesia-Malaysia," ujar Hasan Wirajuda yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri.
Dia menjelaskan hakim lebih memihak Malaysia berdasarkan pertimbangan effectivitee, yaitu Pemerintah Inggris (Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak 1930. Selain itu, ada pula operasi mercusuar sejak 1960-an.
"Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu)," kata Hassan.
Di sisi lain, MI juga argumentasi Indonesia yang bersandar pada konvensi 1891, yang dinilai hanya mengatur perbatasan kedua negara di Kalimantan. Garis paralel 14 derajat Lintang Utara ditafsirkan hanya menjorok ke laut sejauh 3 mil dari titik pantai timur Pulau Sebatik. Hal itu sesuai dengan ketentuan hukum laut internasional pada waktu itu yang menetapkan laut wilayah sejauh 3 mil. Hassan ketika itu tak menampik bahwa Pemerintah Indonesia kecewa karena upaya yang dilakukan sejak 1997 tak membuahkan hasil yang positif.