Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi pistol (IDN Times/Mardya Shakti)
ilustrasi pistol (IDN Times/Mardya Shakti)

Jakarta, IDN Times – Bentrokan suku antara Arab dan Non-Arab menewaskan setidaknya 24 orang pada hari Minggu (5/12/2021) di wilayah Darfur Barat, Sudan. Bentrokan itu awalnya dipicu oleh perselisihan keuangan pada Sabtu malam antara dua orang di kamp pengungsi Krinding, kata Adam Regal, juru bicara Koordinasi Umum untuk Pengungsi di Darfur, dilansir Al Jazeera.

Regal mengatakan, pejuang Arab yang dikenal sebagai Pasukan Pertahanan Populer (PDF) menyerang kamp pada Minggu pagi, membakar dan menjarah properti. Setidaknya 35 lainnya terluka. Insiden tersebut merupakan serangkaian serangan terbaru dari konflik antar-komunal yang terjadi di wilayah itu.

1. Ramai dibicarakan di media sosial

Pengungsi di kamp Krinding, Darfur. (twitter.com/UN OCHA Sudan)

Melansir AP News, tagar “Krinding is bleeding” dalam bahasa Arab sempat ramai di Twitter pada hari Minggu. Dalam beberapa unggahan, pengguna memperlihatkan suasana rumah terbakar dan mayat yang dibungkus dengan kain kafan.

Kamp tersebut terletak sekitar empat kilometer (2,5 mil) timur ibu kota provinsi, Genena, dan merupakan rumah bagi orang-orang terlantar dari suku Masalit, yang telah dipaksa meninggalkan rumah mereka selama konflik di Darfur.

2. Insiden terbaru dalam beberapa pekan terakhir

Ilustrasi penyerangan (IDN Times/Arief Rahmat)

Kekerasan di Krinding adalah insiden terbaru yang melanda Darfur Barat dalam beberapa pekan terakhir. Bulan lalu, perselisihan tanah antara orang Arab dan non-Arab di daerah Jebel Moon menyebabkan bentrokan berdarah yang menewaskan sedikitnya 17 orang dan melukai 12 orang lainnya.

Sementara itu, di provinsi Darfur Selatan terdekat, bentrokan suku selama dua bulan terakhir telah merenggut nyawa sedikitnya 45 orang di kota Tawila, menurut Komite Dokter Sudan.

3. Keterlibatan Al-Basir sejak 2003

Omar Al-Bashir, mantan presiden Sudan yang digulingkan pada kudeta 2019. (twitter.com/Facts East Africa)

Bentrokan-bentrokan seperti itu merupakan tantangan yang signifikan bagi upaya otoritas transisi Sudan untuk mengakhiri pemberontakan selama puluhan tahun di beberapa daerah seperti Darfur. Sudan berada di tengah transisi demokrasi yang rapuh sejak pemberontakan rakyat yang menggulingkan pemimpin lama Omar Al-Bashir pada April 2019 lalu.

Konflik Darfur pecah ketika pemberontak dari komunitas etnis tengah dan sub-Sahara Afrika (non-Arab) melancarkan pemberontakan bersenjata pada tahun 2003. Mereka mengeluhkan penindasan oleh pemerintah yang didominasi suku Arab di Khartoum.

Pemerintah Al-Basir menanggapi pemberontakan tersebut dengan mengerahkan serangan udara oleh Pasukan Pertahanan Populer (PDF), yang dituduh melakukan pembunuhan massal dan pemerkosaan. Hampir sekitar 300.000 orang tewas dan 2,7 juta orang terusir dari rumah mereka.

Al-Basir yang kini berada di penjara Khartoum sedang menghadapi tuduhan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan akibat konflik tersebut. Rencananya, Basir akan diserahkan kepada Pengadilan Kriminal Internasional (ICC), namun hingga saat ini pihak militer belum menyetujuinya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team