Sebagian besar korban badai di Haiti berada di kota dan desa nelayan di sekitar pantai selatan. Korban tewas kebanyakan disebabkan tertimpa pohon, reruntuhan, dan luapan sungai. Badai tersebut juga melewati semenanjung Tiburon dan meratakan rumah warga dengan kecepatan angin mencapai 230 kilometer per jam yang disertai hujan lebat pada 3 dan 4 Oktober. Runtuhnya jembatan utama pada Selasa lalu telah menyebabkan akses wilayah barat daya Haiti terputus.
Organisasi non-pemerintah mengatakan, jaringan telepon dan listrik turut terputus dan warga mulai kehabisan air dan makanan. Warga mencoba mengatasi kerusakan akibat badai Matthew dengan membangun rumah sementara dari reruntuhan tanpa bantuan tentara maupun polisi. Menurut Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB, 350.000 orang di seluruh Haiti memerlukan bantuan.
Juru bicara Palang Merah Amerika Suzy DeFrancis mengatakan, prioritas utama adalah memulihkan jaringan telepon. Pasalnya mereka membutuhkan teknologi untuk membantu melakukan hal itu. Haiti merupakan salah satu negara termiskin di dunia, dengan banyak penduduknya tinggal di rumah yang rapuh dan berlokasi di daerah rawan banjir.
Lebih dari setengah penduduk Haiti juga tinggal di kawasan padat dan kumuh yang rentan akan gempa, badai, atau wabah penyakit. Epidemi kolera telah berlangsung sejak tahun 2010 dan telah menewaskan ribuan jiwa.
Ketidakstabilan politik dan korupsi menjadi salah satu faktor penyebab. Tanpa dipimpin pemerintahan yang efektif selama puluhan tahun, Haiti saat ini menempati urutan ke-163 dari 188 negara dalam hal Indeks Pembangunan Manusia PBB. Hal tersebut menyebabkan Haiti hanya menaruh sedikit perhatian pada pertahanan terhadap badai.