Tindakan represif militer Myanmar terhadap aksi kelompok pro-demokrasi membuat warga sipil marah. Mereka kemudian mengangkat senjata, melakukan perlawanan secara gerilya terhadap militer.
Dari 16 warga Myanmar yang membuat pengaduan, separuhnya adalah penyintas Rohingya selama 2017 dan separuhnya lagi adalah penyintas peristiwa brutal usai kudeta militer 2021-2022.
Fortify Rights terpaksa mencari bantuan Jerman karena mendapat penolakan Dewan Keamanan PBB untuk membuat rujukan militer Myanmar diseret ke Pengadilan Kriminal internasional, dikutip dari Al Jazeera.
"Kami meminta untuk pertama kalinya dalam sejarah, militer Myanmar dimintai pertanggungjawaban atas semua kejahatannya terhadap semua kelompok etnis," kata Pavani Nagaraja Bhat, rekan investigasi di Fortify Rights.
Warga Manmar yang mengadu berasal dari etnis Arakan (Rakhine), Burman, Chin, Karen, Karenni dan Mon. Nagaraja Bhat mengatakan, meski berbeda etnis, semua penyintas telah menderita sejak kudeta militer. Mereka kehilangan rumah, keluarga, mata pencaharian dan kebebasan.
Nickey Diamond, salah satu individu dalam kasus tersebut, kini tinggal di Jerman. Dia percaya Jerman dapat membuka penyelidikan dan mencari keadilan atas kejahatan junta Myanmar.
"Ini adalah waktu untuk mengakhiri impunitas dan memastikan para pelaku militer (Myanmar) dan lainnya tidak lolos dari kejahatan mereka," kata Diamond.