Korban Skandal Farmasi di Inggris Tuntut Kompensasi Rp203 triliun

Insiden farmasi 1970-an tewaskan 3 ribu orang

Jakarta, IDN Times - Pemerintah Inggris sedang menekan perusahaan farmasi global membayar kompensasi terkait skandal darah terinfeksi yang terjadi di masa lampau. Skandal ini bermula pada tahun 1970-an dan 1980-an, ketika sekitar 30 ribu orang terinfeksi virus HIV dan hepatitis C setelah menerima transfusi darah dan produk darah yang terkontaminasi.

Melansir dari The Guardian pada Minggu (26/5/2024), tragedi ini diperkirakan telah merenggut nyawa hampir 3 ribu orang. Kini, para korban yang selamat dan keluarga korban mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan tegas terhadap perusahaan farmasi yang terlibat. Mereka menuntut kompensasi yang diperkirakan mencapai 10 miliar poundsterling atau sekitar Rp203 triliun.

1. Latar belakang skandal

Skandal ini berakar dari produk-produk darah yang terkontaminasi virus berbahaya, termasuk HIV dan hepatitis C. Produk-produk ini diproduksi oleh anak perusahaan dari raksasa farmasi global seperti Bayer, Baxter, dan perusahaan farmasi besar lainnya. Produk tersebut awalnya ditujukan untuk mengobati hemofilia.

Namun, penyelidikan oleh Sir Brian Langstaff menemukan bahwa industri farmasi gagal memberikan peringatan yang memadai tentang risiko kontaminasi HIV dan hepatitis C dalam produk mereka.

Langstaff menyimpulkan bahwa produk-produk ini seharusnya tidak pernah mendapatkan izin edar. Lebih mengejutkan lagi, terungkap bahwa beberapa perusahaan farmasi menggunakan plasma darah dari narapidana yang merupakan populasi berisiko tinggi terinfeksi.

Sebuah memo internal dari Cutter Laboratories, yang saat itu merupakan anak perusahaan Bayer, menunjukkan bahwa perusahaan sebenarnya menyadari risiko ini. Memo yang ditulis pada Desember 1982 menyebutkan perlunya memasukkan peringatan AIDS dalam literatur produk Factor VIII mereka. Namun, peringatan resmi paling awal yang berhasil diidentifikasi oleh penyelidikan baru muncul pada Maret 1984.

Baca Juga: China Klaim Inggris Buat Tuduhan Palsu untuk Warganya

2. Korban di Inggris terlambat terima kompensasi

Fakta bahwa korban skandal darah terinfeksi di negara-negara lain telah menerima kompensasi yang signifikan, semakin memperkuat tuntutan para korban di Inggris.

Di Jepang, misalnya, pada Maret 1996 para eksekutif perusahaan farmasi yang terlibat dalam skandal serupa berlutut di hadapan penderita hemofilia yang mengajukan gugatan, sebagai bentuk permintaan maaf. Perusahaan menyetujui pembayaran kompensasi senilai total Rp13 triliun bagi korban yang terinfeksi HIV.

Sementara itu, di Amerika Serikat, perusahaan farmasi seperti Bayer, Baxter, dan Armour sepakat membayar Rp10 triliun pada Agustus 1996. Perusahaan-perusahaan ini juga diwajibkan berkontribusi pada skema kompensasi yang serupa di Jerman pada Juli 1995.

Namun, di Inggris, sampai saat ini perusahaan yang terlibat belum menyampaikan permintaan maaf resmi atau mengakui kesalahan mereka. Perusahaan hanya menyatakan bahwa mereka telah mematuhi semua peraturan yang berlaku pada saat itu, tanpa mengakui tanggung jawab moral atau hukum yang lebih besar.

3. Langkah pemerintah Inggris

Korban Skandal Farmasi di Inggris Tuntut Kompensasi Rp203 triliunGedung Parlemen Inggris. (unsplash.com/Marcin Nowak)

Menanggapi desakan para korban dan keluarga mereka, pemerintah Inggris akhirnya mengumumkan skema kompensasi terkait skandal ini.

Dalam skema ini, korban dapat menerima pembayaran hingga 2,7 juta poundsterling atau sekitar Rp54 miliar per orang. Kompensasi ini akan diberikan kepada korban langsung yang terinfeksi HIV, hepatitis C, atau hepatitis B. Selain itu, ada juga kompensasi untuk keluarga dan kerabat mereka yang terdampak.

Besaran kompensasi akan ditentukan berdasarkan tingkat keparahan infeksi yang diderita korban dan dampaknya terhadap kehidupan mereka. Misalnya, korban yang terinfeksi HIV diperkirakan akan menerima hingga Rp52 miliar. Sementara, korban yang sekaligus terinfeksi HIV dan hepatitis C atau B dapat menerima hingga Rp54 miliar.

Meskipun langkah pemerintah ini disambut baik, para korban dan keluarga mereka masih menuntut tanggung jawab dan permintaan maaf langsung dari perusahaan. 

"Saya pikir korporasilah yang harus membayar. Ini harus menjadi jumlah yang sangat besar. Mereka perlu merasakan konsekuensi dari tindakan mereka," kata Sam Roddick, putri dari mendiang Anita Roddick, pendiri The Body Shop, yang meninggal akibat komplikasi hepatitis C diduga terkait insiden ini. 

Baca Juga: Inggris: Bukan Waktu Tepat untuk Akui Negara Palestina

Leo Manik Photo Verified Writer Leo Manik

...

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Vanny El Rahman

Berita Terkini Lainnya