Jakarta, IDN Times - Pertengahan tahun lalu, sejak virus SARS-CoV-2 alias virus corona penyebab COVID-19 dinyatakan menjadi pandemik oleh WHO, para pengembang vaksin berlomba-lomba memulai proyek mereka dan menjadi yang terdepan. Sejumlah perusahaan farmasi dan bioteknologi serta lembaga-lembaga penelitian pun berkolaborasi dalam pengembangan itu.
Pfizer, perusahaan farmasi asal Amerika Serikat yang menggandeng perusahaan bioteknologi Jerman, BioNTech, menjadi salah satu yang paling diunggulkan sejak awal. Masih dari AS, perusahaan bioteknologi Moderna juga disebut-sebut menjanjikan. Universitas Oxford Inggris lantas bekerja sama dengan perusahaan multinasional berbasis Inggris-Swedia, AstraZeneca, juga disorot selama pengembangan vaksin mereka.
Dari Negeri Tirai Bambu, tempat asal virus corona, pengembangan vaksin juga digencarkan. Perusahaan farmasi milik negara, Sinopharm bahkan mengerjakan dua penelitian di dua laboratorium berbeda, di Wuhan dan Beijing. Perushaan pengembang vaksin Tiongkok, CanSino Biologics pun tentu tak mau ketinggalan.
Salah satu perusahaan yang paling terdengar namanya di Tanah Air adalah Sinovac Biotech. Perusahaan biofarmasi ini mengembangkan vaksin bernama CoronaVac--vaksin yang paling pertama dipastikan pemerintah RI untuk digunakan dalam vaksinasi massal. Sinovac mengerjakan tahapan uji klinis fase III mereka secara multicenter, di Indonesia, Brasil, Turki, dan Cile. Bangladesh yang semula direncanakan menjadi lokasi uji klinis akhirnya menolak.
Akhir tahun lalu hingga kini, sejumlah negara sudah disibukkan dengan agenda vaksinasi massal. Indonesia menggelar vaksinasi perdana pada 13 Januari lalu. Pada 7 Desember, Inggris menjadi yang pertama melakukan vaksinasi massal, disusul AS dan Kanada pada 14 Desember. Mereka semua menggunakan vaksin Pfizer.
Sejumlah negara Uni Eropa seperti Belgia, Prancis, Jerman, Yunani, Hongria, Finlandia, Denmark, Italia, Spanyol, Swiss, Belarus, Kroasia, Polandia, Serbia, Malta, Republik Ceko, dan Slovakia sudah memulai juga vaksinasi warga mereka. Begitu pula negara Amerika Latin seperti Argentina, Kosta Rika, Meksiko, dan Cile. Di Timur Tengah, Turki, Syprus, Arab Saudi, Kuwait, Oman, Qatar, dan sudah melakukan vaksinasi perdana.
Lalu, di Asia, Tiongkok telah melakukan vaksinasi darurat kepada tenaga militer dan tenaga kesehatan bahkan sejak Juni, setelah mereka memberika izin penggunaan terbatas pada vaksin CanSino. Namun, vaksinasi secara umum pada publik belum dilakukan.
Izin penggunaan darurat (emergency used autorization/EUA) pertama mereka berikan kepada vaksin Sinopharm pada Desember lalu. Sedangkan Sinovac, yang sudah mendapatkan EUA dari Indonesia, justru belum mengantongi EUA Tiongkok.
Menyusul Indonesia, India juga menjadi Asia sudah melakukan vaksinasi massal, setelah berhasil megembangkan vaksin mereka sendiri di bawah perusahaan Bharat Biotech. Di Asia Tenggara, Singapura menjadi negara pertama yang melakukan vaksinasi perdana. Mereka menggunakan vaksin Pfizer.
Di tahun ini, perlombaan yang disorot di seluruh penjuru dunia bukan hanya dalam pengembangan dan produksi vaksin COVID-19. Namun, kini perhatian dunia sudah lebih menuju pada perlombaan mengamankan pesanan vaksin bagi kebutuhan negara masing-masing.
Amnesty International dan beberapa organisasi lainnya yang tergabung dalam Aliansi Vaksin Rakyat (PAV) melaporkan bahwa 53 persen dari vaksin-vaksin COVID-19 yang kemanjurannya menjanjikan sudah diborong dan bahkan ditumpuk oleh negara-negara kaya, sebagaimana dilaporkan BBC, Rabu, 9 Desember 2020.
Analisis aliansi tersebut menunjukkan negara-negara kaya sudah membeli lebih dari cukup stok vaksin COVID-19 bahkan bisa melakukan tiga kali vaksinasi ke seluruh penduduknya. Kanada contohnya, memesan stok vaksin untuk semua warganya hingga bisa melakukan lima kali vaksinasi. Israel diberitakan bahkan bisa melakukan 10 kali vaksinasi untuk setiap warganya dengan jumlah stok vaksin yang mereka pesan.
Fakta ini mengkhawatirkan karena negara-negara dengan berpendapatan rendah tidak akan mampu memberikan vaksin bagi semua warganya. Menurut penghitungan Aliansi Vaksin Rakyat, negara berpendapatan rendah hanya mampu melakukan vaksinasi terhadap 1 dari 10 warga mereka.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) melakukan berbagai upaya agar semua negara bisa memperoleh vaksin COVID-19. Salah satunya melalui insitusi Global Alliance for Vaccine and Immunization (Gavi) dalam COVAX Facility. Bersama Coalition for Epidemic Preparedness Innovations (CEPI), Gavi membentuk COVAX Facility.
COVAX adalah terobosan kolaborasi global yang bertujuan mempercepat pengembangan dan pembuatan vaksin COVID-19, serta menjamin akses yang adil dan merata bagi setiap negara di dunia. Indonesia telah tergabung di COVAX sejak akhir tahun lalu dan menjadikan ini menjadi solusi pengadaan vaksin melalui jalur multilateral, selain jalur bilateral dengan perusahaan pengembang vaksin langsung.