Melansir dari DW, genosida Rwanda yang dimulai pada tahun 1994 telah menewaskan lebih dari 800 ribu orang, yang korbannya mayoritas orang Tutsi dan orang Hutu yang dianggap menghalangi. Prancis dituduh telah terlibat dalam pembantaian, yang membuat hubungan kedua negara selama hampir tiga dekade sulit berjalan dengan baik.
Untuk menenangkan orang Rwanda negara Eropa itu pada Maret 2021 merilis sebuah laporan terkait genosida tersebut, yang mengatakan para pejabat Prancis memikul tanggung jawab yang "serius dan luar biasa" karena tidak memperkirakan pembantaian itu. Dikatakan bahwa sikap kolonial telah membutakan para pejabat Prancis. Laporan itu membebaskan Prancis dari keterlibatan langsung dalam pembunuhan itu. Namun, laporan itu menyampaikan bahwa Prancis mempersenjatai, menasihati, melatih, melengkapi, dan melindungi pemerintah Hutu Rwanda.
Genosida itu bermula pada tahun 1994, selama perang saudara Rwanda, pesawat Presiden Juvenal Habyarimana ditembak jatuh, yang menewaskannya. Hal itu menyebabkan genosida yang berlangsung sekitar 100 hari. Karena penembakan pesawat itu Rwanda memutuskan hubungan diplomatik dengan Prancis pada 2006 setelah seorang hakim Prancis memerintahkan surat perintah penangkapan terhadap sembilan pembantu Kagame yang dituduh terkait dengan penembakan insiden tersebut.
Sejak menjabat di 2017, Macron telah mencoba membangun kembali hubungan dengan Rwanda sejak mengambil alih kekuasaan, yang berpuncak pada kunjungan ini. Kunjungan resmi Prancis terakhir ke negara itu adalah ketika mantan Presiden Nicolas Sarkozy berkunjung pada 2010.
Dalam kunjungan Macron dikabarkan bahwa jalan-jalan di Kigali tidak dipenuhi kerumunan orang yang menyambut presiden Prancis dengan bendera, tidak seperti perhatian yang biasanya diterima oleh kunjungan profil tinggi, tapi yang dia sampaikan di Kigali dianggap telah melampaui apa yang tak bisa pendahulunya lakukan.