Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
perempuan Afghanistan (pixabay.com/ArmyAmber)

Jakarta, IDN Times - Tindakan keras pemerintah Taliban terhadap kebebasan perempuan dan krisis ekonomi yang makin memuncak telah membuat para perempuan di Afghanistan rentan dilanda depresi.

"Saya hanya ingin seseorang mendengar suara saya. Saya kesakitan, dan saya bukan satu-satunya," kata seorang mahasiswi Afghanistan, dalam sebuah wawancara dengan BBC.

Wanita muda berusia 20-an tahun itu sempat mencoba mengakhiri hidupnya empat bulan lalu, setelah Taliban melarang perempuan masuk ke universitas pada Desember 2022. Dia sekarang mendapat perawatan dari psikolog.

"Kami memiliki pikiran untuk bunuh diri di Afghanistan. Situasinya adalah yang terburuk, dan dunia jarang memikirkan atau membicarakannya," kata Amal (bukan nama sebenarnya), seorang psikolog di Afghanistan.

"Ketika Anda membaca berita, Anda membaca tentang krisis kelaparan, tetapi tidak ada yang berbicara tentang kesehatan mental. Orang-orang seperti diracuni secara perlahan. Hari demi hari, mereka kehilangan harapan," tambahnya. 

Amal menceritakan, dia menerima 170 panggilan yang meminta bantuannya dalam waktu dua hari setelah pengumuman larangan perempuan masuk universitas. Sekarang, dia mendapatkan sekitar 7-10 panggilan baru setiap hari. Sebagian besar pasiennya adalah anak perempuan dan wanita muda.

1. Banyak warga Afghanistan alami masalah mental sebelum kembalinya Taliban

perempuan Afghanistan (pixabay.com/ArmyAmber)

PBB memperkirakan, satu dari dua orang yang tinggal di Afghanistan menderita tekanan psikologis, bahkan sebelum Taliban mengambil alih kekuasaan negara itu pada 2021. Hal ini didorong oleh trauma berat, kekerasan antarpribadi dan sikap patriarki dalam masyarakat. Belum lagi layanan psikiatris banyak berkurang di negara tersebut akibat konflik bersenjata.

Warga Afghanistan menceritakan, putrinya melakukan bunuh diri saat hari pertama semester baru sekolah pada Maret lalu, usai Taliban melarang anak perempuan bersekolah.

"Sampai hari itu, dia percaya bahwa sekolah pada akhirnya akan dibuka kembali untuk anak perempuan. Dia yakin akan hal itu. Tapi ketika itu tidak terjadi, dia tidak bisa mengatasinya dan bunuh diri," kata dia.

"Dia mencintai sekolah. Dia cerdas, bijaksana dan ingin belajar dan melayani negara kita. Ketika mereka menutup sekolah, dia menjadi sangat tertekan dan sering menangis," sambungnya.

Seorang guru bernama Meher juga mengaku pernah dua kali mencoba bunuh diri. Ia depresi usai kehilangan pekerjaaannya setelah universitas wanita ditutup, sementara dia adalah tulang punggung keluarganya.

"Karena saya dipaksa untuk tinggal di rumah, saya ditekan untuk menikah. Semua rencana yang saya miliki untuk masa depan saya hancur. Saya merasa benar-benar bingung, tanpa tujuan atau harapan, dan itulah mengapa saya mencoba untuk mengakhiri hidup saya," katanya. 

2. Minimnya statistik bunuh diri akibat stigma negatif

Editorial Team

Tonton lebih seru di