potret bangunan Universitas Hong Kong (wikimedia.org)
Melihat kejadian ini, Chen Weiming, selaku pemahat kedua patung yang dihilangkan keberadaannya, pun buka suara. Melansir dari Reuters, baginya, penghapusan monumen-monumen Tiananmen tersebut menjadi pertanda matinya kebebasan dan supremasi hukum di Hong Kong.
“Mereka (pihak kampus) takut dipotret dan malu sewaktu siang hari, sehingga mereka pun membongkar patung-patungnya saat malam, layaknya pencuri,” tutur Chen, mengutip dari Reuters.
Dirinya menambahkan, ia tak segan-segan akan menuntut pihak kampus apabila ada kerusakan terhadap karyanya.
Lebih jauh lagi, reaksi negatif dan kekecewaan juga datang dari kalangan aktivis. Pasalnya, monumen-monumen Tiananmen bukanlah pahatan semata.
"[Patung tersebut] melambangkan bahwa Hong Kong masih memiliki ruang untuk kebebasan berbicara dan ini [menunjukkan] kalau Hong Kong masih merupakan bagian yang berbeda dari China," jelas Alex Lee, pendiri sebuah kelompok aktivis seni, seperti yang dilansir CNN.
Hal ini selaras dengan pernyataan salah satu alumni CUHK, Felix Chow. Dari laman The Guardian, ia mengaku "sedih dan terkejut". Menurutnya, patung "Dewi Demokrasi" merupakan sebuah simbol kebebasan akademik di mana setiap mahasiwa CUHK bisa mengutarakan pendapatnya.