Negara Persemakmuran Desak Inggris Ganti Rugi Perdagangan Budak

Jakarta, IDN Times - Para pemimpin negara-negara Commonwealth atau Persemakmuran Inggris sepakat untuk mulai membahas kompensasi bagi negara-negara yang menderita akibat perdagangan budak yang melibatkan Inggris di masa lalu.
Mereka mengadakan Pertemuan Kepala Pemerintahan Persemakmuran (CHOGM) dua tahunan di Samoa hingga 26 Oktober, serta menandatangani komunike dan mengadopsinya pada hari penutupan.
Disebutkan, para pemimpin berkomitmen untuk mendukung negara-negara kecil, khususnya Negara-negara Kepulauan Kecil yang Berkembang (SIDS) dan berupaya mengatasi pemanasan global dan masalah lainnya, dilansir NHK News pada Minggu (27/10/2024).
1. PM Inggris klaim bahwa pembahasan reparasi tidak ada dalam agenda
Commonwealth merupakan asosiasi sukarela yang beranggotakan 56 negara yang pernah menjadi koloni Inggris.
Komunike yang diajukan merujuk pada seruan untuk membahas keadilan reparatoris terkait perbudakan. Dokumen menyatakan bahwa negara-negara anggota sepakat bahwa sudah waktnya untuk membahas masalah tersebut.
Perdana Menteri (PM) Inggris, Keir Starmer, mengatakan bahwa reparasi tidak akan masuk dalam agenda, seraya menambahkan bahwa posisi negaranya terkait hal itu sangat jelas.
"Perbudakan itu menjijikan, tidak perlu dipertanyakan lagi. Namun, menurut saya dan pendekatan yang baru saja saya ambil, saya lebih suka bekerja sama dengan mereka untuk menghadapi tantangan masa depan saat ini, daripada menghabiskan banyak waktu untuk masa lalu," ujarnya kepada wartawan di awal pertemuan puncak tersebut, dikutip dari Al Jazeera.
Starmer ingin fokus pada tantangan saat ini, seperti perubahan iklim. Pernyataannya itu dipandang sebagai saran bahwa Inggris sedang mencari pilihan ganti rugi selain pembayaran tunai dalam jumlah besar.
Raja Inggris Charles III juga menyampaikan pidato di pertemuan puncak tersebut. Ia mengaku memahami dari mendengarkan orang-orang di seluruh Persemakmuran soal betapa menyakitkan sejarah masa lalu. Meski begitu, Charles tidak menyerukan ganti rugi, melainkan mendesak para pemimpin untuk menemukan cara-cara efektif guna mengatasi masa lalu.
"Meskipun tidak seorang pun dari kita dapat mengubah masa lalu, kita harus belajar dari pengalaman untuk memperbaiki ketidaksetaraan yang terus berlanjut," ungkapnya.