Melansir The Guardian, Menteri Dalam Negeri Bayangan, Yvette Cooper, menyebut kebijakan memindahkan pencari suaka adalah tindakan yang tidak etis. Kebijakan itu juga akan mempersulit mereka untuk memperoleh suaka yang cepat dan adil.
Cooper juga menyinggung soal kebutuhan biaya yang terlalu tinggi untuk memindahkan pencari suaka, dan justru akan merugikan rakyat di tengah kondisi ekonomi negara yang sulit.
Organisasi PBB yang mengurusi pengungsi, UNHCR, mengatakan sedang memantau kebijakan tersebut. Tapi organisasi itu telah menyatakan tidak mendukung tindakan yang mengirim pencari suaka dan pengungsi ke negara yang bukan dituju.
Merespons tindakan pemerintah, Enver Solomon, kepala eksekutif Dewan Pengungsi, mengatakakan bahwa kebijakan yang diambil ini tidak tepat dan tidak menghentikan orang untuk melakukan perjalanan berbahaya, dan dia juga menyinggung biaya besar diperlukan dalam program tersebut. Karena itu, Solomon meminta Inggris untuk meninjau kembali kebijakan ini.
Kesepakatan dengan Rwanda ini dilaporkan akan membuat Inggris mengeluarkan biaya awal sebesar 120 juta pound sterling (Rp2,2 triliun). Beberapa negara yang juga menjadi pertimbangan adalah Albania, Ghana, dan Gibraltar, tapi tidak tercapai kesepakatan.
Andrew Mitchell, anggota parlemen senior, mengigatkan langkah itu dapat menelan biaya hingga 2 juta pound sterling (Rp37,7 miliar) untuk setiap pencari suaka, dianggapnya lebih mahal daripada menempatkan di Ritz hotel.
Australia, yang memiliki kebijakan serupa yang mengirim pencari suaka ke Nauru dan Papua Nugini, dilaporkan menghabiskan banyak biaya untuk program ini. Tahun lalu Australia menghabiskan 461 juta pound sterling (Rp8,6 triliun) untuk memproses 239 pengungsi dan pencari suaka yang ditahan di lepas pantai.