Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi peta Suriah (pixabay.com/ErikaWittlieb)
ilustrasi peta Suriah (pixabay.com/ErikaWittlieb)

Jakarta, IDN Times - Komandan militer Hayat Tahrir al-Sham (HTS), Abu Hassan al-Hamwi, mengungkapkan bahwa pemberontak Suriah telah merencanakan penggulingan Presiden Bashar al-Assad sejak setahun yang lalu. Bahkan, operasi yang disebut "Mencegah Agresi" ini telah dipersiapkan selama bertahun-tahun.

Pada 2019, pemerintah Assad melancarkan operasi terhadap pasukan oposisi di barat laut Suriah, memaksa faksi-faksi yang kurang terkoordinasi mundur ke provinsi Idlib. Sejak itu, HTS menyadari bahwa untuk mengalahkan rezim, mereka perlu mengatur dan menyatukan berbagai kelompok oposisi menjadi pasukan tempur yang terlatih.

"Setelah kampanye terakhir (Agustus 2019), di mana kami kehilangan wilayah yang signifikan, semua faksi revolusioner menyadari bahaya kritis – masalah utamanya adalah tidak adanya kepemimpinan yang terpusat dan kendali atas pertempuran," kata al-Hamwi, yang telah memimpin sayap militer selama 5 tahun, dalam wawancaranya dengan The Guardian.

HTS pun mengajak kelompok-kelompok lain untuk bergabung di bawah kepemimpinannya,  dan tak segan untuk berperang dengan mereka yang menolaknya. Dalam waktu singkat, HTS berhasil menjadi kekuatan dominan di barat laut Suriah.

1. HTS latih para pejuang dan produksi alat militer sendiri

Ketika komando politik kelompok bersatu, Hamwi mulai fokus untuk melatih para pejuang dan mengembangkan doktrin militer yang komprehensif. Kelompok yang awalnya terdiri dari para pemberontak itu secara perlahan menjadi pasukan tempur yang terlatih. Berbagai cabang militer, unit, dan pasukan keamanan pun dibentuk.

“Kami mempelajari musuh dengan seksama, menganalisis taktik mereka, baik siang maupun malam, dan menggunakan wawasan ini untuk mengembangkan kekuatan kami sendiri," jelas komandan yang berusia 40 tahun tersebut.

HTS juga mulai memproduksi persenjataan, kendaraan, dan amunisinya sendiri untuk melawan teknologi pasukan pemerintah yang disokong oleh Iran dan Rusia.

"Kami menyatukan pengetahuan mereka (para ahli) dan menetapkan tujuan yang jelas: Kami membutuhkan drone pengintaian, drone serangan, dan drone bunuh diri, dengan fokus pada jangkauan dan daya tahan,” ujar Hamwi, seraya menambahkan bahwa produksi drone mereka dimulai pada 2019.

Drone bunuh diri terbaru produksi HTS diberi nama drone Shahin, yang berarti elang dalam bahasa Arab. Senjata ini digunakan untuk pertama kalinya melawan pasukan rezim pada bulan ini dan mampu melumpuhkan kendaraan artileri.

2. HTS bantu ciptakan ruang perang terpadu demi menyatukan pemberontak di selatan

HTS kemudian mencoba menyatukan pasukan pemberontak dan jihadis di Suriah selatan dengan menciptakan ruang perang terpadu. Ruang perang ini mengumpulkan para komandan dari sekitar 25 kelompok pemberontak yang akan mengarahkan serangan terhadap Assad dari selatan, sementara HTS dan sekutunya maju dari dari utara. Keduanya direncanakan bertemu di ibu kota Damaskus, yang merupakan benteng Assad.

Operasi Mencegah Agresi akhirnya dimulai pada akhir November 2024, ketika sekutu rezim Assad, Iran dan Rusia, sedang sibuk dengan konfliknya masing-masing.

Pada 8 Desember, pemberontak berhasil memasuki Damaskus setelah merebut kota Aleppo, Hama dan Homs di utara. Assad pun meninggalkan negara itu, mengakhiri lima dekade pemerintahan brutal keluarganya.

“Kami mempunyai keyakinan, didukung oleh preseden sejarah, bahwa 'Damaskus tidak akan jatuh sampai Aleppo jatuh.' Kekuatan revolusi Suriah terkonsentrasi di utara, dan kami percaya bahwa setelah Aleppo dibebaskan, kami dapat bergerak ke selatan menuju Damaskus,” kata Hamwi.

3. HTS berjanji akan lindungi kelompok minoritas di Suriah

Hamwi, yang awalnya seorang insinyur pertanian lulusan Universitas Damaskus, mengatakan bahwa dia akan mengambil peran dalam pemerintahan sipil yang baru, meskipun ia mengakui bahwa membangun negara baru bukanlah tugas yang mudah.

HTS telah ditetapkan sebagai organisasi teroris oleh beberapa negara Barat. Namun sejak naik ke tampuk kekuasaaan, mereka meyakinkan kelompok agama minoritas dan pemerintah lainnya bahwa mereka akan membawa kepemimpinan yang inklusif.

“Kami menegaskan bahwa kelompok minoritas di Suriah adalah bagian dari negara dan mempunyai hak untuk menjalankan ritual, pendidikan, dan layanan mereka seperti warga Suriah lainnya. Rezim menanam perpecahan, dan kami berusaha semaksimal mungkin untuk menjembatani perpecahan ini,” jelas Hamwi.

Perlindungan terhadap kelompok minoritas di Suriah juga menjadi perhatian utama pada Sabtu (14/12/2024), ketika para diplomat terkemuka dari negara-negara Arab, Turki, Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE) bertemu di Yordania.

Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, mengatakan bahwa mereka mendukung pemerintahan yang inklusif dan representatif yang akan menghormati hak-hak minoritas dan tidak menawarkan basis bagi kelompok teroris.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team

EditorFatimah