Parlemen Kuwait Kembali Dibubarkan, Kenapa?

Jakarta, IDN Times - Emir Kuwait Syekh Meshal al-Ahmad al-Sabah kembali membubarkan parlemen negara pada Jumat (10/5/2024). Keputusan tersebut diambil setelah terjadi kebuntuan politik.
Kuwait merupakan satu-satunya negara di Teluk Arab yang memiliki parlemen yang dipilih secara demokratis dan melakukan pengawasan terhadap keluarga penguasa, tapi tetap menunjuk pemerintah dan dapat membubarkan majelis.
1. Konstitusi juga ditangguhkan

Dilansir Associated Press, Syekh Meshal mengatakan bahwa bagian lain dari konstitusi juga telah ditangguhkan. Dia menetapkan penangguhan tersebut untuk jangka waktu tidak lebih dari empat tahun.
“Suasana tidak sehat yang dialami Kuwait pada tahun-tahun sebelumnya telah mendorong penyebaran korupsi hingga mencapai sebagian besar fasilitas negara, dan sayangnya korupsi juga mencapai lembaga keamanan dan ekonomi. Hal ini bahkan telah mempengaruhi sistem peradilan, yang merupakan tempat perlindungan hak dan kebebasan masyarakat," kata pemimpin Kuwait itu.
"Saya tidak akan pernah membiarkan penyalahgunaan demokrasi menghancurkan negara, karena kepentingan rakyat Kuwait adalah yang utama," tambahnya.
2. Pemilu gagal mengatasi kebuntuan politik

Kuwait telah mengadakan pemilu nasional untuk keempat kalinya dalam beberapa tahun untuk mengatasi kebuntuan politik yang sudah berlangsung lama. Pemilu bulan lalu merupakan yang pertama di bawah kepemimpinan Syekh Mishal, yang baru berkuasa pada Desember lalu setelah kematian saudara tirinya dan pendahulunya, Syekh Nawaf al-Ahmad al-Jaber al-Sabah.
Parlemen akan bertemu untuk pertama kalinya pada hari Senin, tapi beberapa politisi menolak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan.
Emir mengatakan kegagalan membentuk pemerintahan adalah akibat dari perintah dan ketentuan beberapa legislator.
“Kuwait telah melalui masa-masa sulit akhir-akhir ini sehingga tidak ada ruang untuk keraguan atau penundaan dalam mengambil keputusan sulit untuk menyelamatkan negara dan mengamankan kepentingan tertingginya,” ujarnya, dikutip dari Al Jazeera.
3. Kuwait masih bergantung dari minyak

Perselisihan politik dalam negeri telah mencengkeram Kuwait selama bertahun-tahun, termasuk mengenai perubahan sistem kesejahteraan, dan kebuntuan tersebut telah menghalangi kerajaan tersebut untuk berhutang.
Konflik dalam negeri itu juga membuat Kuwait kesulitan melakukan investasi dan reformasi untuk mengurangi ketergantungan dari minyak. Hal itu menyebabkan kesulitan membayar gaji sektor publik yang membengkak
Negara itu merupakan sekutu setia Amerika Serikat (AS) sejak Perang Teluk tahun 1991 yang mengusir pasukan Irak. Kuwait menampung sekitar 13.500 personel militer AS serta markas besar Angkatan Darat AS di Timur Tengah.