Ilustrasi bendera Indonesia (unspalsh.com/Mufid Majnun)
Praktik ekstradisi di Indonesia didasarkan atas UU No. 1 tahun 1979 Tentang Ekstradisi. Dalam ekstradisi, mekanisme permintaan ekstradisi, berdasarkan UU, prosedurnya terbagi menjadi dua yakni: kedudukan Indonesia sebagai negara diminta; dan kedudukan Indonesia sebagai negara peminta.
a. Sebagai negara diminta
Apabila melihat proses pelaksanaan ekstradisi yang diatur dalam undang-undang nomor 1 tahun 1979 dalam kapasitas Indonesia sebagai Negara yang dimintai ekstradisi maka proses pelaksanaan ekstradisi pada dasarnya dapat dibagi dalam beberapa tahapan yaitu pra permintaan ekstradisi, permintaan ekstradisi, pemeriksaan ekstradisi, persetujuan ekstradisi, dan penyerahan ekstradisi.
Proses ekstradisi tidak selamanya harus dilakukan melalui perjanjian ekstradisi. Menurut pasal 2 ayat 2 UU No. 1 tahun 1979 bahwa apabila belum memiliki perjanjian ekstradisi maka dapat dilakukan atas dasar hubungan baik, dengan asas resiprositas.
Perjanjian ekstradisi lebih bertumpu pada penerapan sistem hukum. Apabila terjadi perbedaan penafsiran maka diperlukan asas-asas hukum. Asas-asas inilah yang akan menjadi sarana penuntun.
Praktik Indonesia sebagai negara diminta dalam merespon permintaan negara-negara tidak selamanya diterima oleh Indonesia. Terdapat beberapa permintaan yang ditolak karena dalam hukum Indonesia, kejahatan yang dibuat pelaku bukan merupakan tindak pidana di Indonesia.
Permintaan penangkapan dan penahanan (provisional arrest) diatur dalam Pasal 18, 19, dan 37 UU No. 1/1979. Menurut pasal 18 dan 19, bahwa Kapolri dan Jaksa Agung bisa memerintahkan penahanan seorang tersangka berdasarkan permintaan negara lain apabila hal tersebut merupakan hal yang mendesak dan tidak bertentangan dengan hukum negara Republik Indonesia. Permintaan tersebut disampaikan melalui Interpol Indonesia atau melalui saluran diplomatik. Selain itu, negara peminta harus melampirkan dokumen-dokumen identitas pelaku seperti paspor, KTP/SIM, sidik jari, dan pengakuan.
b. Sebagai negara peminta
Secara umum, apabila menyangkut masalah pencarian dan upaya penangkapan pelaku yang melarikan diri ke luar negeri, maka pihak penegak hukum (Polri/Jaksa Agung) dapat meminta bantuan Interpol. Namun ada juga beberapa negara yang permintaannya melalui jalur diplomatik. Baru setelah pelaku ditangkap, Interpol akan menghubungi negara peminta untuk dilakukan ekstradisi.
Menurut UU No. 8/1981, ekstradisi harus dilengkapi dengan surat perintah penangkapan dan surat perintah penahanan sebagai pelengkap dokumen permintaan ekstradisi. Setelah ada surat tersebut, maka selanjutnya adalah menyiapkan persyaratan ekstradisi. Persyaratan ini disiapkan oleh pihak instansi yang menangani kasusnya.
Perlu diketahui bahwa pada setiap negara memiliki persyaratan yang berbeda-beda dan disesuaikan dengan ketentuan hukum nasionalnya. Karena itu, pembuatan persyaratan ini harus mendapat perhatian dan pemahaman.
Surat permintaan tersebut kemudian dikirim ke Menteri Hukum dan HAM, dilampiri dengan persyaratan. Materi tersebut berisikan penjelasan mengenai kasus yang terjadi dan permintaan kepada negara yang diminta untuk mengadakan ekstradisi terhadap sang buron tersebut.
Menkumham kemudian mempelajari dan mencari dasar hukum untuk mengadakan permintaan ekstradisi terhadap pihak negara diminta. Setelah disetujui oleh Menkumham, selanjutnya pihak Polri/Jaksa Agung meneruskan surat permintaan tersebut kepada Menteri Luar Negeri untuk diteruskan kepada pihak negara diminta melalui saluran diplomatik.
Itulah penjelasan singkat mengenai Perjanjian Ekstradisi. Dengan adanya perjanjian ini maka proses ekstradisi akan jauh lebih mudah untuk dilakukan terhadap sang buron yang melarikan diri ke luar negeri.