Ratusan ribu warga Ethiopia kemungkinan akan mengungsi ke Sudan. Ilustrasi (twitter.com/UNHCR Ethiopia)
Perang di Ethiopia dimulai secara resmi pada 4 November 2020 lalu. PM Abiy Ahmed memerintahkan operasi militer kepada Ethiopian National Defense Force (ENDF) melawan Tigrayan People's Liberation Front (TPLF) di wilayah Tigray.
Dalam pertempuran tersebut, hampir mustahil media internasional memasuki wilayah konflik karena blokade di perbatasan dan pemadaman saluran telepon serta internet. Karena itu, jumlah korban dalam konflik hingga kini masih penuh tanda tanya.
Setelah ibukota Mekelle ditaklukkan oleh ENDF, eskalasi militer mereda. Namun konflik telah membuat ratusan ribu orang mengungsi dan jutaan orang terancam kelaparan. Blokade wilayah secara berkala dibuka meski tetap dengan pengawasan ketat. Sejak itu, muncul fakta-fakta tentang kecurigaan kejahatan dan kekejaman perang yang dilakukan militer terhadap penduduk Tigray, baik itu oleh pasukan ENDF maupun pasukan Eritrea yang menyeberang.
Melansir dari laman BBC, dalam pidatonya, PM Abiy Ahmed mengakui bahwa pasukan Eritrea melewati perbatasan dan memasuki wilayah Tigray. Tindakan itu, menurut klaimnya, karena Eritrea merasa khawatir terhadap ancaman serangan musuh lama.
Ethiopia sebelum dipimpin oleh Abiy Ahmed dikuasai oleh etnis Tigray selama hampir seperempat abad. Ketika Ethiopia dipimpin oleh etnis Tigray tersebut, mereka telah berperang selama hampir 20 tahun dengan Eritrea. PM Abiy Ahmed mampu mendamaikan perseteruan itu dan membuatnya diganjar dengan hadiah Nobel Perdamaian.
Abiy Ahmed mengatakan orang Eritrea telah berjanji untuk pergi dari wilayah Tigray ketika militer Ethiopia mampu mengendalikan perbatasan. Dia juga mengatakan, melansir dari laman Al Jazeera, bahwa "rakyat dan pemerintah Eritrea melakukan bantuan abadi kepada tentara kami", selama konflik. Abiy tidak memberikan rincian lebih lanjut apa yang dimaksud bantuan tersebut.