Pengunjuk rasa mengikuti aksi di depan Kedubes India, Jakarta, Jumat (6/3/2020). Ratusan umat muslim dari berbagai organisasi kemasyarakatan melakukan aksi sebagai bentuk solidaritas bagi umat muslim India terkait konflik di negara tersebut. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/aww.
Pada 11 Desember 2019 lalu, sebuah UU pembaruan yang mengatur kewarganegaraan di India diresmikan. UU kewarganegaraan yang lama menyebutkan bahwa imigran ilegal dan orang asing yang memasuki India tanpa dokumen resmi atau melebihi tenggak waktu yang telah ditentukan dapat dideportasi maupun dipenjara. Setelah diperbaharui, parlemen India memberikan pengecualian bagi imigran beragama Hindu, Sikh, Budha, Jain, Parsi dan Kristen. Imigran pemeluk keenam agama tersebut diperbolehkan untuk masuk ke India dengan syarat dapat membuktikan bahwa mereka benar-benar berasal dari Pakistan, Afganistan, dan Bangladesh. Dengan bekerja selama 6 tahun di India, mereka dapat melakukan naturalisasi dan menjadi wagra lokal.
Pengesahan UU ini menimbulkan kontroversi di berbagai kalangan. Pihak oposisi mengatakan bahwa UU kewarganegaraan yang baru sangatlah eksklusif dan melanggar konstitusi India. Menurut Guatam Bhatia, seorang pengacara di Delhi, UU ini secara terang-terangan membagi imigran ke dalam kelompok Muslim dan non-Muslim dan mengimplementasikan tindak diskriminasi ke dalam hukum negara. Bagi Bhatia, keputusan ini bertentangan dengan etos konstitusional sekuler yang telah lama berdiri.
Menanggapi kontroversi ini, Ram Madhav, anggota Partai BJP yang merupakan partai pemimpin di parlemen mengatakan bahwa tidak ada negara manapun yang menerima imigran ilegal. "Bagi semua yang memberikan komplain, UU kewarganegaraan India sudah resmi. Naturalisasi merupakan opsi bagi orang-orang yang secara legal mengklaim kewarganegaraan India. Imigran ilegal hanyalah penyusup", ucap Madhav seperti yang diberitkan BBC.