Ilustrasi Korea Selatan dan Korea Utara. (Pixabay.com/kirill_makes_pics)
Pada Februari, Kim Jong Un, pemimpin Korut, menyatakan Kosel sebagai "musuh utama" dan secara terbuka menyerukan perubahan konstitusional untuk menolak tujuan resmi yang telah lama dipegang yaitu reunifikasi kedua negara.
Sean King, wakil presiden senior dan pakar Asia Timur di firma konsultan Park Strategies di New York, mengatakan tawaran Korsel tidak mungkin menarik tetangganya ke meja perundingan.
"Pembentukan Kelompok Kerja Antar-Korea Utara/Selatan pasti tidak akan didengar oleh Pyongyang. Yoon jelas mengusulkan penyatuan melalui penyerapan, bukan penyatuan dua pihak yang setara. Pidato ini sebagian besar tentang posisi retoris di pihak Yoon, yang dimaksudkan dengan baik, tetapi tidak layak berdasarkan realitas saat ini," katanya.
Pyongyang telah mengumumkan pengerahan 250 peluncur rudal balistik ke perbatasan selatannya minggu lalu.
Korut dalam beberapa bulan terakhir telah mengirim ribuan balon berisi sampah ke tetangganya, termasuk balon yang menumpahkan sampah di kompleks kepresidenan Yoon. Tindakan itu dibalas Seoul dengan melanjutkan siaran propagandanya di sepanjang perbatasanan dan menghentikan kesepakatan tahun 2018 untuk meredakan ketegangan militer kedua negara.
Publik Korsel diyakini telah kehilangan antusiasme untuk reunifikasi, terutama bagi generasi muda. Dalam suatu jajak pendapat baru-baru ini, lebih dari 60 persen responden berusia 20-an hingga 30-an mengatakan penyatuan tidak diperlukan.