Selama satu bulan terakhir Saied mengambil alih penuh negara, ia telah memecat sejumlah menteri tinggi pemerintah, beberapa gubernur regional dan polisi diperintahkan untuk menangkap anggota parlemen serta pejabat lain karena dugaan korupsi.
Dia juga memerintahkan pembatasan perjalanan terhadap para pejabat yang terduga melakukan korupsi.
Sejak Musim Semi Arab, Tunisia dipandang sebagai model demokrasi yang sedang berkembang. Tapi negara itu gagal mengatasi pengangguran kronis, korupsi dan masalah sosial lain terutama di provinsi yang terabaikan.
Negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dan Prancis mendesak agar proses demokrasi segera dikembalikan setelah Saied intervensi pada bulan lalu. Mereka telah menyerukan agar presiden segera menunjuk pemerintah dan membuat sketsa rencana masa depan.
Melansir Associated Press, Brahim Bouderbala, ahli hukum Presiden, mengatakan bahwa waktu satu bulan tidak cukup untuk merancang dasar-dasar perubahan. Bouderbala mendukung keputusan untuk memperpanjang dekrit presiden yang dilakukan itu.
Partai Ennahdha, salah satu partai islamis terkuat di Tunisia yang menyebabkan tergulingnya presiden lama, memainkan peran penting dalam mendukung pemerintahan koalisi, termasuk bersama Kais Saied. Namun partai itu kehilangan dukungan karena ekonomi yang tidak berkembang dan layanan publik yang terus anjlok.
Ennahdha sendiri saat ini juga mengalami perpecahan. Melansir Al Jazeera, ketua parlemen saat ini, Rached Ghannouchi yang berasal dari partai tersebut, dituntut agar mundur dari kepemimpinan.