Biden Didesak Perbaiki Pemilu AS saat KTT Demokrasi

KTT Demokrasi jadi persaingan geopolitik AS-China

Jakarta, IDN Times - Joe Biden yang jadi tuan rumah penyelenggaraan The Summit for Democracy (KTT Demokrasi), di desak untuk memperbaiki sistem pemilu di negaranya. Desakan itu disampaikan oleh para pengamat yang menilai sistem demokrasi di dalam negerinya terus mendapatkan serangan.

Salah satu ancaman paling mutakhir dalam demokrasi Amerika Serikat (AS) adalah sistem pemilu. Pertarungan perebutan kursi presiden antara Biden dan Donald Trump diwarnai dengan berbagai goncangan. Dari mulai propaganda kampanye hitam, hoaks, dan paling puncak adalah serangan Gedung Capitol mematikan dari sekutu Trump yang ingin menggagalkan pelantikan Biden.

Kemudian saat Biden jadi presiden, sampai saat ini 19 negara bagian AS telah melegalkan undang-undang yang membatasi atau mempersulit pemilih. Selain itu, para penyelenggara pemilu juga terus menghadapi ancaman kekerasan. Ini adalah tantangan demokrasi dalam negeri AS, ketika negara itu sedang berjuang mengajak negara-negara demokrasi lain untuk mempertahankan sistem tersebut.

1. Pemberontakan lambat menentang demokrasi

AS telah lama dianggap sebagai negara yang jadi lokomotif sistem demokrasi. Tapi negara itu terus menghadapi ancaman di dalam negeri, dengan berbagai masalahnya. Dalam satu dekade terakhir, sistem demokrasi AS bahkan disebut anjlok karena berbagai persoalan.

Pada tanggal 9-10 Desember, Joe Biden mengundang lebih dari 100 perwakilan negara untuk bertemu mengadakan KTT Demokrasi. Tapi pada hari kedua atau terakhir acara tersebut, AS didesak untuk memperbaiki sistem demokrasinya sendiri, sebelum "jualan" demokrasi ke negara lain.

Dilansir CNN, Cliff Albright salah satu pendiri Black Voters Matter mengatakan "kami telah menyaksikan pemberontakan gerak lambat yang terjadi di depan mata kami selama 11 bulan terakhir, dan Presiden Biden tampaknya tidak sepenuhnya menyadari apa yang dihadapi daerah ini," katanya.

Dia menegaskan bahwa "Anda tidak bisa menjual sesuatu secara global yang bahkan tidak bisa Anda lindungi di rumah," tambah Albright.

Selama Biden menjabat, telah ada 19 negara bagian yang pemerintahan federalnya mengesahkan undang-undang hak suara. Undang-undang itu menurut Brennan Center for Justice, membuat pemungutan suara lebih sulit dengan akses yang semakin dibatasi.

2. Langkah untuk melawan otoritarianisme

Biden Didesak Perbaiki Pemilu AS saat KTT Demokrasiilustrasi (Unsplash.com/Fred Moon)

Baca Juga: Joe Biden Akui Demokrasi Amerika Serikat Rapuh dan Tidak Kebal Ancaman

Dalam pidato di hari pertama, Joe Biden menyebut bahwa selama 15 tahun terakhir, demokrasi secara global telahmengalami penurunan. Bahkan Biden juga menyebut bahwa AS adalah termasuk negara yang demokrasinya menurun.

KTT Demokrasi telah diupayakan untuk memperbarui sistem tersebut, yang dipercaya lebih baik dari sistem lainnya. Dalam salah satu agenda utama, KTT Demokrasi adalah langkah untuk melawan otoritarianisme.

Salah satu bentuk otoritarianisme adalah penggunaan teknologi unruk meredam kebebasan berpendapat. Biden dan rekan-rekannya mengumumkan untuk membendung otokrasi dari penyalahgunaan teknologi dan meningkatkan integritas pemilu, serta mendukung media independen.

Dilansir Associated Press, langkah itu akan "menyemai lahan subur bagi demokrasi untuk berkembang di seluruh dunia." Untuk mendukung hal tersebut, Biden akan menggelontorkan dana 424 juta dolar atau sekitar Rp6 triliun. Dana tersebut juga akan digunakan untuk memerangi masalah global terkait korupsi.

Anders Figh Rasmussen, mantan Sekjen NATO menyebut KTT Demokrasi adalah titik awal yang baik untuk tahun aksi. Dia berharap bahwa lebih dari 100 pemimpin dunia yang diundang, akan menggalang beberapa prinsip dasar masyarakat demokratis.

Tujuan lainnya adalah "untuk memperkuat suara kita dan upaya kita untuk melawan otokrasi yang maju seperti China, Rusia dan otokrat lainnya," tambah Rasmussen.

3. KTT Demokrasi dalam persaingan geopolitik China-AS

China dan Rusia yang tidak mendapatkan undangan di KTT Demokrasi, menyerang AS telah menciptakan mentalitas Perang Dingin. Sampai acara KTT Demokrasi selesai pada Jumat, media Global Times yang didanai pemerintah China melontarkan kritik keras terhadap AS.

Dalam pandangan media China itu, KTT Demokrasi yang baru saja berlangsung hanya mempertunjukkan buruknya demokrasi AS sendiri dan hanya berisi omong kosong. KTT Demokrasi yang akan berlanjut satu tahun lagi untuk melakukan evaluasi gerakan secara global, menurut Global Times adalah "buang-buang waktu dan usaha jangka panjang hanyalah ilusi."

Global Times juga menyinggung anggota UE Hungaria dan Singapura yang tidak diundang. Singapura yang mempraktikkan demokrasi parlementer, tidak turut hadir di KTT Demokrasi itu.

Laman NPR mengutip Bilahari Kausikan, mantan diplomat yang mewakili Singapura di PBB. Kata Kausikan, "dalam konteks di mana Biden memegang ini, konteks persaingan geopolitik dengan China, itu akan membatasi kami. Ini menempatkan kami ke dalam lubang merpati, sedangkan kami ingin memiliki otonomi strategis yang maksimal," katanya.

Duta Besar Besar Singapura, Tommy Koh juga bertanya kepada Rafik Mansour, wakil kepala misi Kedubes AS di Singapura. Dilansir The Straits Times, Mansour menegaskan kembali bahwa ada jumlah undangan yang terbatas dan bahwa keputusan itu tidak mencerminkan kedalaman dan luasnya hubungan dan kemitraan AS dengan Singapura.

Koh menilai bahwa seharusnya AS mengundang Singapura karena negara itu telah memberikan kebebasan orang untuk memilih, meciptakan sistem pemilu yang adil dan memiliki peradilan yang independen.

Koh kemudian memberi garis bawah bahwa tidak ada model demokrasi tunggal dan dia menyatakan mungkin di mata Partai Demokrat AS, "demokrasi ala Singapura dengan banyak ciri khas Singapuranya bukanlah demokrasi sejati."

Baca Juga: Joe Biden Tak Akan Kirim Pasukan AS ke Ukraina

Pri Saja Photo Verified Writer Pri Saja

Petani Kata

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya