Macron Ancam Tarik Pasukan Prancis Usai Kudeta Mali

Kudeta mengarahkan Mali condong ke "Islamisme radikal" 

Bamako, IDN Times - Belum genap dalam setahun, Mali telah mengalami kudeta sebanyak dua kali. Kudeta tersebut dipimpin oleh petinggi militer yang bernama Assimi Goita. Dengan kudeta yang terbaru, situasi politik di Republik Mali semakin tidak stabil.

Presiden Prancis Emmanuel Macron mengecam kudeta tersebut. Macron juga mengancam akan menarik pasukan militernya yang berada di wilayah itu karena tidak selamanya pasukan Prancis akan terus berada di Afrika Barat.

Prancis memiliki agenda panjang untuk membantu negara-negara bekas jajahannya. Lebih dari 5.000 personel militer Prancis melakukan operasi Barkhane di wilayah yang terdiri beberapa negara yakni Burkina Faso, Chad, Mauritania, Niger dan Mali. Pasukan prancis membantu pemerintah setempat mengatasi pasukan pemberontak.

1. Macron tidak akan dukung negara tanpa transisi demokrasi

Presiden Mali yang bernama Bah Ndaw dan Perdana Menteri Moctar Ouane digulingkan oleh Assimi Goita, seorang petinggi militer angkatan darat yang menjabat sebagai Wakil Presiden. Presiden, Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan juga dicopot jabatannya dan dilucuti kekuasaannya. Peristiwa itu terjadi pada 24 Mei 2021.

Peristiwa kudeta tersebut telah memicu banyak negara mengecam, termasuk Uni Eropa. Presiden Prancis Emmanuel Macron mengkhawatirkan bahwa kudeta di Mali akan membuat negara itu semakin mengarah kepada kekuasaan jaringan islamis radikal.

Karena itu, melansir dari laman Al Jazeera, Macron mengancam akan menarik pasukan Prancis yang ada di negara tersebut. "Islamisme radikal di Mali dengan tentara kita di sana? Tidak pernah," kata Macron kepada mingguan Le Journal du Dimanche.

Presiden Prancis tersebut juga menambahkan bahwa ia tidak dapat mendukung sebuah negara yang tidak ada lagi legitimasi atau transisi demokratis.

Kudeta di Mali yang baru saja terjadi membuat negara yang terkurung oleh daratan itu kembali menuju ketidakstabilan politik sejak kudeta pada Agustus tahun lalu.

2. Macron ancam akan menarik pasukan dari Mali dan Afrika Barat

Baca Juga: Macron Akui Tanggung Jawab Prancis di Genosida Rwanda 1994

Dalam beberapa dekade, Prancis telah banyak membantu negara-negara bekas jajahannya di Afrika Barat. Bantuan itu termasuk personel militer yang ikut mengamankan pemerintahan dari serangan para pemberontak.

Menurut BBC, bantuan kadang juga berupa serangan udara dari pasukan Prancis yang ditujukan kepada pasukan pemberontak yang mengacau.

Pada tahun 2014 ketika jaringan pasukan jihadis dan pasukan pemberontak semakin meningkatkan operasi di wilayah gurun Sahel dan mengancam negara-negara Burkina Faso, Chad, Mauritania, Niger dan Mali, Prancis mengirim lebih dari 5.000 personel militer dalam operasi Barkhane.

Operasi Barkhane tersebut memiliki tujuan untuk menekan pasukan jihadis dan pasukan pemberontak yang terus mengganggu.

Akan tetapi saat ini karena Mali terus dilanda ketidakstabilan politik, Macron memperingatkan bahwa pasukannya tidak akan selamanya berada di Afrika Barat. Macron sebelumnya juga telah memperingatkan Presiden Bah Ndaw yang digulingkan, bahwa ia akan menarik pasukannya jika Mali beralih menjadi Islamisme radikal.

3. Pemimpin negara-negara Afrika Barat undang pemimpin kudeta Mali dalam KTT darurat

Macron Ancam Tarik Pasukan Prancis Usai Kudeta MaliAssimi Goita, pemimpin kudeta Mali (Twitter.com/Africa Facts Zone)

Usai kudeta dilakukan di Mali, Mahkamah Konstitusi negara tersebut menunjuk Assimi Goita menjadi presiden sementara. Namun penunjukan itu telah menimbulkan kecaman yang meluas dari banyak negara, khususnya Barat. Barat mengancam akan menjatuhkan sanksi karena kekacauan kudeta tersebut.

Para pemimpin negara di Afrika Barat juga secara cepat menanggapi kudeta yang berlangsung di Mali. ECOWAS, atau masyarakat ekonomi Afrika Barat mengundang Assimi Goita dalam Konferensi Tingkat Tinggi darurat yang dilaksanakan pada Minggu (30/5).

Menurut kantor berita Reuters, Assimi Goita memenuhi undangan pembicaraan bersama para pemimpin negara Afrika Barat tersebut yang berlangsung di ibukota Accra, Ghana.

Ada 15 anggota di ECOWAS dan mereka telah bersikeras bahwa transisi kekuasaan di Mali usai kudeta Agustus 2020 harus dipimpin oleh warga sipil. Saat kudeta terjadi di Mali tahun lalu, ECOWAS menutup perbatasan dengan Mali.

ECOWAS memberikan sanksi dengan menghentikan transaksi keuangan. Sanksi tersebut menyebabkan penurunan impor sebesar 30 persen sebelum akhirnya dicabut Oktober lalu.

Baca Juga: Macron Akui Tanggung Jawab Prancis di Genosida Rwanda 1994

Pri Saja Photo Verified Writer Pri Saja

Petani Kata

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya