China Godok Revisi Rancangan UU Anti Pencucian Uang

RUU belum diperbarui sejak diundangkan pada 2007

Jakarta, IDN Times - China mulai mempertimbangkan rancangan revisi Undang-Undang Anti Pencucian Uang, mengingat negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia itu sedang bergulat dengan teknologi baru yang mempersulit upaya anti pencucian yang mengaburkan sumber dana, seperti mata uang kripto dan aset fintech virtual lainnya.

Revisi besar-besaran itu untuk mengekang aliran modal gelap yang dapat mengancam keamanan sistem keuangan negara hingga reputasi internasional Negeri Tirai Bambu tersebut.

"Dalam beberapa tahun terakhir, upaya anti pencucian uang kami telah mengungkap sejumlah masalah. Di antaranya adalah pemenuhan kewajiban anti pencucian uang yang tidak memadai oleh lembaga-lembaga, kurangnya pembagian informasi, dan jenis-jenis risiko pencucian uang baru, yang mana upaya perlindungannya belum diperkuat," kata Gubernur Bank Sentral China Pan Gongsheng, dikutip dari The Straits Times, pada Minggu (28/4/2024).

1. Revisi RUU China mendahului FATF

Nantinya, revisi undang-undang tersebut mendahului evaluasi yang akan datang terhadap rezim anti pencucian uang China oleh Financial Action Task Force (FATF), yakni sebuah badan pengawas internasional terkemuka yang menetapkan standar global.

FATF terakhir kali mengevaluasi upaya China terhadap rezim anti pencucian uang adalah pada 2018-2019 dan dijadwalkan untuk memulai peninjauan berikutnya pada 2025 mendatang.

Pekan lalu, Badan Legislatif China meninjau rancangan revisi Undang-Undang Anti Pencucian Uang, dengan peraturan yang menetapkan kewajiban anti pencucian uang untuk lembaga non-keuangan tertentu.

RUU tersebut belum diperbarui sejak diundangkan pada 2007, dan kini meminta masukan masyarakat mengenai RUU tersebut hingga 25 Mei 2024.

Baca Juga: Ogah Bergantung dengan China, Jepang-UE Tingkatkan Kerja Sama

2. Berikut rancangan anti pencucian uang yang sedang digodok oleh China

China Godok Revisi Rancangan UU Anti Pencucian UangIlustrasi bendera China. (unsplash.com/Arthur Wang)

Dilansir Xinhua, rancangan baru tersebut terdiri dari 62 pasal dalam tujuh bab dan akan memperkuat pengawasan, serta pengelolaan anti pencucian uang dan menyempurnakan ketentuan kewajiban anti pencucian uang.

Rancangan tersebut memperjelas bahwa bukan hanya lembaga keuangan yang memiliki kewajiban pengawasan anti pencucian uang, tetapi juga lembaga non-keuangan. Ini termasuk mereka yang memperdagangkan aset, seperti real estate, sekuritas, logam mulia, dan batu permata.

Rancangan ini juga menetapkan kewajiban bagi lembaga keuangan yang mengharuskan mereka untuk membangun dan meningkatkan mekanisme pengendalian internal untuk anti pencucian uang, serta melakukan uji tuntas nasabah dan menyimpan materi informasi identitas nasabah dan catatan transaksi.

Ketentutan baru juga akan menerapkan hukum negara itu terhadap aktivitas money laundering yang terjadi di luar negeri, yang dinilai berimbas melanggar keamanan dan hak-hak China.

Lembaga keuangan didorong harus memperhatikan risiko yang berasal dari penggunaan teknologi dan produk baru. Para ahli pun menyoroti bahwa aset virtual telah menjadi alat yang sering digunakan oleh para pencuci uang dan hal itu merupakan tantangan yang mendesak.

"Bank-bank underground yang menggunakan metode teknologi tinggi seperti mata uang virtual untuk memindahkan dana telah menjadi target prioritas bagi Kementerian Keamanan Publik China. Sebab, spesifikasi itu memungkinkan masuknya dana ilegal melalui saluran-saluran tersebut dan mengatasi beberapa kekurangan yang diidentifikasi oleh FATF," kata Wang Xin, profesor dari Fakultas Hukum di Peking University.

3. China telah menangkap 2.971 orang pada 2023 terkait kasus pencucian uang

China Godok Revisi Rancangan UU Anti Pencucian UangIlustrasi borgol. (unsplash.com/niu niu)

Menurut Kejaksaan Agung China, jumlah orang yang dituntut karena pelanggaran pencucian uang telah meningkat setiap tahun sejak 2020. Angka tersebut melonjak dari 707 orang menjadi 2.971 orang pada 2023.

Pada awal 2022, negara itu meluncurkan kampanye tiga tahun untuk memerangi pencucian uang, atas nama menjaga keamanan nasional. Di tahun yang sama, polisi China menangkap 63 orang yang dituduh mencuci uang hasil kriminal, yang bernilai 12 miliar yuan (sekitar Rp26,9 triliun) melalui mata uang kripto Tether, yang dipatok pada rasio 1:1 dengan dolar Amerika Serikat, kendati perdagangan mata uang kripto dianggap ilegal di negara itu.

Money laundering ini terungkap setelah para tersangka mengkonversi mata uang kripto tersebut ke yuan, dan pihak berwenang diperingatkan akan tingginya volume transaksi di salah satu rekening bank tersangka.

Baca Juga: Tornado Hantam Guangzhou China, 5 Orang Tewas

Rahmah N Photo Verified Writer Rahmah N

.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Vanny El Rahman

Berita Terkini Lainnya