Kepulauan Bougainville, Papua Nugini, di kawasan Pasifik. Google Map
Hasil tersebut merupakan buah dari perjuangan panjang warga Bougainville seperti yang diwajibkan dalam Kesepakatan Damai Bougainville dengan pemerintah Papua Nugini pada 2001. Artinya, butuh hampir dua dekade untuk menyelenggarakan referendum tersebut.
Latar belakangnya sendiri adalah konflik sipil berkepanjangan antara pemerintah dengan masyarakat di Bougainville. Konflik yang berakhir pada 1998 itu diperkirakan menewaskan 20.000 warga. Padahal, populasi di kepulauan tersebut kala itu masih sekitar 200.000 jiwa.
Hasil referendum pun disambut dengan suka cita oleh masyarakat yang berkumpul di Balai Kota Buka. Ketua Komisi Referendum Bougainville, Bertie Ahern, adalah salah satu yang bertepuk tangan saat angka itu diumumkan.
Alexia Baria, seorang lulusan akademi keperawatan, mengatakan kepada AFP bahwa dia lebih dari sekadar merasa bahagia. "Anda lihat air mata saya. Ini adalah saat yang kami sudah nantikan," ucapnya. Hal yang sama diucapkan oleh pemimpin Bougainville, John Momis.
"Kini, setidaknya secara psikologis, kami merasa terbebaskan. Jelas sekali bahwa warga sekarang sedang ingin merayakan dan saya bergabung bersama mereka sebab mereka punya hak untuk merayakannya," katanya.