Ancaman Lingkungan Dominasi Laporan Risiko Global 2020
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
New York, IDN Times - Ancaman lingkungan menjadi isu paling dominan dalam Global Risk Report (Laporan Risiko Global) 2020 yang dirilis oleh World Economic Forum menjelang pertemuan elit di Davos, Swiss, pada 21 Januari 2020.
Pada 2019 lalu, dari lima risiko paling besar, tiga di antaranya adalah masalah lingkungan hidup, sedangkan dua sisanya merupakan pencurian data dan serangan siber. Kali ini, seluruhnya adalah persoalan lingkungan mulai dari cuaca ekstrem, bencana alam sampai bencana lingkungan buatan manusia.
1. Kegagalan penanganan perubahan iklim diyakini berdampak paling besar
Menurut survei tersebut, risiko nomor satu dalam hal dampak dan nomor dua berdasarkan kemungkinan terjadinya dalam 10 tahun ke depan adalah "kegagalan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim".
Lima tahun terakhir tercatat sebagai periode terhangat bumi. Di saat bersamaan, berbagai bencana seperti kekeringan, kebakaran hutan dan tornado kian sering terjadi. Kekhawatiran lain adalah soal mencairnya es di Kutub Utara.
Namun, Dewan Arktik yang dibebani tanggung jawab untuk menjaga kawasan itu justru gagal menyebutkan perubahan iklim saat bertemu pada Mei 2019 di Finlandia.
Alih-alih menjaga, Rusia justru semakin agresif dalam mengeksploitasi potensi minyak bumi dan gas alam di sana dengan mengumumkan investasi miliaran dolar pada Oktober 2019.
2. Hilangnya keanekaragaman hayati berdampak masif kepada manusia
Keseimbangan alam adalah faktor penting bagi ketahanan hidup semua makhluk hidup, termasuk manusia. Akan tetapi, dalam beberapa tahun terakhir, keanekaragaman hayati justru semakin terancam.
Hilangnya keberagaman dalam spesies, antara spesies, dan dalam suatu ekosistem berlangsung kian cepat dibandingkan periode kapan pun dalam sejarah manusia. Menurut data World Economic Forum, walau populasi penduduk dunia sebesar 7,6 miliar jiwa dan hanya merepresentasikan 0,01 persen dari seluruh makhluk hidup, tapi yang dilakukan sangat merugikan.
Manusia telah menyebabkan hilangnya 83 persen dari keseluruhan mamalia liar dan separuh tumbuh-tumbuhan dunia. Saat ini diperkirakan setidaknya ada sekitar dua juta spesies. Jika kecepatan kerusakaan sekarang dibiarkan, setiap tahun kita akan kehilangan 200 sampai 2.000 spesies.
3. PBB ingatkan bahayanya kehilangan keanekaragaman hayati
Editor’s picks
Elizabeth Maruma Mrema, Pelaksana Sekretaris Eksekutif PBB untuk Konvensi Keanekaragaman Biologis, mendorong negara-negara agar segera mengambil tindakan. Dilansir The Guardian, Mrema menegaskan kehancuran ekosistem pendukung kehidupan seperti batu karang dan hutan hujan tropis sama dengan membiarkan manusia hidup dalam "dunia yang kosong" dengan konsekuensi-konsekuensi "bencara besar".
"Hidup manusia bergantung kepada keanekaragaman hayati dalam cara yang tak selalu terlihat atau diapresiasi," ujar Mrema. "Kesehatan manusia utamanya bergantung kepada ekosistem: ketersediaan air bersih, bahan bakar, pangan. Semua ini adalah prasyarat bagi kesehatan dan kehidupan manusia."
4. Masyarakat di pedalaman sangat mengandalkan alam untuk bertahan hidup
Kegagalan dalam menghentikan hancurnya keanekaragaman hayati juga akan sangat mengancam masyarakat di pedalaman. Mereka mengandalkan ekosistem lokal yang beragam untuk mendapatkan makanan dan memenuhi kebutuhan lainnya.
Sebanyak 60 persen populasi warga pedalaman menggunakan obat-obatan tradisional berbahan baku tumbuhan untuk menyembuhkan sakit. Ironisnya, walau jumlah mereka kurang dari lima persen penduduk dunia, tapi mereka melindungi 80 persen keanekaragaman hayati.
5. Presiden World Economic Forum meminta pemerintah dan organisasi-organisasi dunia segera bertindak
Dalam laporan tersebut, Presiden World Economic Forum Børge Brende, meminta agar pemerintah dan organisasi-organisasi dunia segera mengambil kebijakan tegas. "Soal lingkungan hidup, kami mencatat dengan kekhawatiran yang amat sangat tentang konsekuensi degradasi lingkungan terus-menerus, termasuk hilangnya spesies yang mencatatkan rekor tercepat," kata Brende.
"Meski ada kebutuhan untuk lebih ambisius menyangkut aksi iklim, PBB mengingatkan bahwa negara-negara telah melenceng dari jalur untuk urusan memenuhi komitmen mereka di bawah Persetujuan Paris soal perubahan iklim."
Selain itu, World Economic Forum juga menggarisbawahi pentingnya mengintegrasikan kebijakan iklim dengan perekonomian.
Salah satu contohnya adalah Bank of England yang mengingatkan perusahaan-perusahaan di industri bahan bakar fosil bahwa mereka harus bersiap untuk bangkrut jika gagal memahami risiko model bisnis di tengah upaya investasi yang mengarah ke energi ramah lingkungan.
Baca Juga: [LINIMASA] Indonesia Bawa 50 Negosiator di KTT Perubahan Iklim COP 25