Kerap Terima Ancaman, Politisi Perempuan Minta Facebook Bertindak

Politisi perempuan jadi target seksisme di media sosial

Jakarta, IDN Times - Sejumlah politisi dari Kongres Amerika Serikat dan Uni Eropa mengirimkan sebuah surat terbuka kepada Facebook. Di dalamnya, mereka meminta agar Facebook meningkatkan langkah-langkah penting untuk melindungi para perempuan di dunia politik dari ancaman kekerasan dan komentar seksis.

"Kami memohon kepada Facebook agar melakukan lebih untuk melindungi kesempatan perempuan ikut serta dalam diskursus demokratis dan untuk mendorong adanya ruang yang aman serta memberdayakan bagi perempuan," tulis mereka dalam surat tersebut.

1. Media sosial menawarkan platform yang setara antara perempuan dan laki-laki, tapi dengan konsekuensi khusus bagi kaum hawa

Kerap Terima Ancaman, Politisi Perempuan Minta Facebook BertindakKetua Dewan Perwakilan Amerika Serikat Nancy Pelosi (D-CA) memberikan keterangan pers usai sidang pemakzulan di Capitol Hill, Washington DC, Amerika Serikat, pada 18 Desember 2019. (ANTARA FOTO/REUTERS/Tom Brenner)

Studi Harvard Kennedy School Shorenstein Center on Media, Politics and Public Policy pada 2015 menyimpulkan bahwa media sosial berperan sebagai penyetara dalam politik. Ini lantaran selama ini dunia tersebut didominasi oleh laki-laki di mana ketimpangan terhadap akses dan sumber daya terjadi.

Dengan media sosial, perempuan bisa menyuarakan pendapat dan menjangkau para calon pemilih maupun konstituen dengan lebih mudah. Namun, kemudahan itu harus dibayar dengan kian terbukanya kesempatan bagi netizen menyerang mereka dengan ancaman atau komentar seksis.

Hampir 50 persen responden yang berpartisipasi dalam studi, dari berbagai negara, latar belakang, partai dan posisi, mengakui menerima hinaan atau ancaman tentang kemampuan dan peran perempuan sebagai pembuat kebijakan. Lebih dari 90 persen memakai Facebook sebagai satu-satunya platform.

Menyangkut konten, para politisi laki-laki rupanya lebih sering mengunggah foto atau video soal keluarga dan kehidupan pribadi. Ini penting untuk memperlihatkan mereka punya sisi lembut.

Sebaliknya, politisi perempuan justru khawatir jika menunjukkan keluarga maka akan semakin mendorong munculnya stereotip gender. Ini dipercaya berlawanan dengan citra yang ingin mereka tampilkan yaitu soal kepemimpinan yang kuat. Konten sejenis itu juga dikhawatirkan mengundang komentar-komentar seksis.

Baca Juga: Marak Pelecehan Seksual, Lindungi Diri dengan Teknik Mengunci Lawan

2. Facebook diminta tidak membiarkan adanya konten seksis dan mengancam keselamatan politisi perempuan

Kerap Terima Ancaman, Politisi Perempuan Minta Facebook BertindakAnggota DPR Amerika Serikat Alexandria Ocasio-Cortez dan Ilhan Omar saat kampanye. instagram.com/AOC

Surat terbuka itu sendiri ditujukan untuk CEO Mark Zuckerberg dan COO Sheryl Sandberg pada Kamis 6 Agustus 2020. Seperti dilaporkan Reuters, mereka ingin Facebook menghapus konten yang mengancam kandidat politik atau menglorifikasi kekerasan terhadap perempuan, mengakhiri ujaran kebencian kepada perempuan, serta menghapis video atau foto palsu.

Publik dan Kongres Amerika Serikat mengkritik Facebook karena menerima iklan politik secara mentah sehingga terjadi amplifikasi misinformasi. Apalagi, Facebook juga tidak menghapus video soal Ketua DPR Nancy Pelosi yang sudah di-edit untuk mencemarkan nama baiknya pada 2019 lalu.

Kepala Keselamatan Perempuan di Facebook Cindy Southworth mengatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan di internet merupakan masalah serius. Ia mengaku pihaknya berusaha menangani ini dengan beragam cara, termasuk memakai teknologi yang bisa mengidentifikasi konten kekerasan dan menghapusnya.

3. Politisi perempuan mendapatkan ujaran kebencian dan seksis setiap hari lewat media sosial

Kerap Terima Ancaman, Politisi Perempuan Minta Facebook BertindakEnam politisi perempuan Amerika Serikat dari Partai Demokrat. instagram.com/AOC

Berdasarkan temuan Inter-Parliamentary Union, media sosial jadi tempat nomor 1 di mana kekerasan psikologis (antara lain komentar seksis, ancaman dan intimidasi) berkembang. Salah satu target utama adalah perempuan-perempuan yang duduk di parlemen di berbagai negara.

Studi organisasi non-profit yang mempromosikan demokrasi itu sama dengan pengakuan dua politisi perempuan Inggris kepada BBC pada Mei lalu.

"Saya disebut sebagai pelacur, bahwa saya seorang sundal, bahwa saya seharusnya menghilangkan payudara saya, bahwa saya tidak pintar, bahwa saya idiot, bahwa saya semestinya enyah dan membuat kue saja--yang merupakan favorit saya secara pribadi," ujar politisi dari Partai Buruh yang menolak menyebutkan identitas diri.

"Menurut mereka, saya tidak berpendidikan, saya tak punya tempat di politik, dan Anda mendapatkan komentar itu setiap hari, itu terjadi berkali-kali," tambahnya.

Sedangkan anggota Partai Liberal Demokrat mengaku netizen membahas soal kehidupan personalnya di media sosial.

"Saya menerima pesan seperti ancaman kematian, perundungan, atau komentar-komentar jahat soal penampilan atau kepribadian saya, atau pandangan politik saya," jelasnya. "Kehidupan seksual saya juga dibawa-bawa. Jadi orang-orang berkata saya seorang pelacur, saya seorang sundal, ya seperti itu," tambahnya.

Baca Juga: Kekayaan Mark Zuckerberg Merosot Usai Pengiklan Besar Boikot Facebook

Topik:

  • Isidorus Rio Turangga Budi Satria

Berita Terkini Lainnya