Meski Kaya, Korea Selatan dan Jepang Cenderung Tolak Pengungsi

Dilatarbelakangi xenofobia?

Tokyo, IDN Times - Korea Selatan, Jepang dan Tiongkok merupakan tiga negara di Asia Timur yang sangat maju secara perekonomian. Berdasarkan peringkat Produk Dometik Bruto (PDB) 2018, Tiongkok dan Jepang berada di peringkat dua dan tiga, sedangkan Korea Selatan menempati urutan 12. Sayangnya, kemajuan ekonomi tidak berbanding lurus terhadap keterbukaan untuk menerima pengungsi.

1. Negara-negara berkembang bahkan miskin menjadi tempat yang paling banyak menerima pengungsi

Meski Kaya, Korea Selatan dan Jepang Cenderung Tolak PengungsiANTARA FOTO/REUTERS/Muhammad Hamed

Menurut data UNHCR, saat ini ada 25,4 juta pengungsi di seluruh dunia. Lalu, 3,1 juta orang merupakan pencari suaka. Tragisnya, 85 persen dari para pengungsi tinggal di negara berkembang, bahkan miskin. Turki menjadi negara yang paling banyak menerima pengungsi yaitu sejumlah 3,5 juta orang.

Setelah Turki ada Uganda yang ditinggali 1,4 juta pengungsi. Disusul kemudian oleh Pakistan, Lebanon, dan Iran, yang masing-masing menjadi menerima 1,4 juta, satu juta dan 979.000 pengungsi. Mereka paling banyak berasal dari Suriah (6,3 juta), Afghanistan (2,6 juta), dan Sudah Selatan (2,4 juta).

Negara Asia Selatan dan Asia Tenggara pun menampung pengungsi di dalam wilayah mereka. Per 2016, ada 13.679 pengungsi dan pencari suaka yang hidup di Indonesia—mayoritas menjadikannya lokasi transit dengan tujuan utama ke Australia dan Selandia Baru. Di Pakistan, pada 2018 ini UNHCR juga mencatat ada 1,4 juta pengungsi berada di negara itu.

2. Selama 24 tahun, Korea Selatan telah menolak lebih dari 18.500 pencari suaka dan hanya menerima 849 pengungsi

Meski Kaya, Korea Selatan dan Jepang Cenderung Tolak Pengungsiunsplash.com/Shawn Ang

Sebagai negara maju di dunia, Korea Selatan dianggap belum melakukan banyak untuk krisis pengungsi. Dari data Kementerian Hukum Korea Selatan, sejak 1994 hingga 2018 ini negara itu hanya menerima 849 pengungsi. Pengungsi pertama yang diterima Korea Selatan, menurut UNHCR, berasal dari Ethiopia yang datang ke negara itu pada 2001, dan baru memperoleh status pengungsi pada 2010.

Di sisi lain, ada lebih dari 40.000 aplikasi dari para pencari suaka dengan kurang lebih separuhnya sudah dinyatakan lengkap. Terkait krisis di Suriah, seperi dilaporkan New York Times, pemerintah Korea Selatan hanya memberikan status pengungsi kepada tiga dari 1.144 pencari suaka. 

Keputusan ini mendapatkan kritik pedas dari berbagai pihak. Untuk meresponsnya, Korea Selatan memberikan 670 orang visa kemanusiaan. Meski bisa tinggal di dalam wilayah Korea Selatan, tapi mereka tidak mendapatkan tunjangan kesejahteraan layaknya pengungsi resmi.

Heinn Shin, juru bicara UNHCR di Korea Selatan, berkata kepada Al Jazeera bahwa ini sedikitnya jumlah pengungsi yang diterima negaranya berhubungan dengan pandangan masyarakat terhadap "orang luar". 

Shin menjelaskan,"Korea Selatan secara tradisional adalah negara yang sangat homogen jadi ini tidak hanya soal pengungsi atau imigran. Ini soal orang luar, warga non-Korea secara umum."

"Di negara seperti Korea, aneh rasanya melihat seseorang yang tak tampak sepertimu dan tak berbicara bahasa yang sama." Shin pun menambahkan fokus UNHCR di sana saat ini adalah meningkatkan edukasi terhadap masyarakat dan pemerintah. "Pesan kami kepada publik adalah jika kamu bahagia membantu anak Suriah di TV melalui donasi, apakah kamu bersedia menerimanya jika dia datang ke Korea?"

3. Pemerintah Jepang menolak 99 persen pencari suaka dan hanya menerima 27 pengungsi saja

Meski Kaya, Korea Selatan dan Jepang Cenderung Tolak Pengungsiinstagram.com/refugees

Jepang sendiri tidak bisa terlalu membanggakan diri dalam hal kontribusi terhadap penerimaan pengungsi. Seperti disebutkan Brookings, pada 2015 Jepang menolak 99 persen dari 7.586 aplikasi pencari suaka dan hanya menerima 27 pengungsi saja. Pada tahun sebelumnya, hanya ada 11 pengungsi yang diterima dari 5.000 pencari suaka.

Pemerintah Jepang sendiri kerap membuat narasi bahwa pencari suaka sebenarnya adalah migran ekonomi yang membuat skenario seakan hidup mereka dalam bahaya. Narasi ini juga yang berada di balik kebijakan untuk memperketat kebijakan terkait penerimaan pengungsi. 

Dikutip dari Japan Times, pada awal 2018 Jepang membuat kebijakan baru. Jepang hanya menerima aplikasi pengungsi yang didaftarkan secara langsung di negara itu. Jika tidak, pencari suaka harus memiliki visa terlebih dulu. Beberapa pencari suaka politik menggunakan visa pelajar untuk mendapatkan status pengungsi.

Pemerintah takkan lagi memberikan izin kerja bagi yang memegang visa tersebut karena meyakini sistem tersebut disalahgunakan. Kompleksnya sistem penerimaan pengungsi membuat Jepang sebagai salah satu negara maju dengan aturan paling ketat. Apalagi ada keinginan untuk tetap membuat Jepang sebagai negara homogen.

4. Tiongkok menjadi tempat tinggal bagi 300.000 pengungsi, tapi semuanya beretnis Tionghoa

Meski Kaya, Korea Selatan dan Jepang Cenderung Tolak Pengungsiinstagram.com/refugees

Satu lagi negara maju di kawasan Asia Timur yang enggan menerima pengungsi adalah Tiongkok. UNHCR menyebut pada 2015, negara itu hanya menerima 154 pengungsi dan 641 lainnya masih berstatus sebagai pencari suaka. Sejauh ini ada lebih dari 300.000 pengungsi di sana, tapi kesemuanya merupakan etnis Tionghoa yang mencapai Tiongkok ketika Perang Vietnam terjadi.

Yun Sun, pakar urusan Tiongkok dari Stimson Center di Washington, berkata kepada Foreign Policy bahwa masalah pengungsi dianggap "sangat kontroversial di Tiongkok". "Mayoritas sepertinya percaya bahwa Tiongkok tak seharusnya menerima pengungsi asing. Mereka akan berkata,'Kita punya kebijakan satu anak demi pembangunan negara, jadi pastinya kita tak bisa memberi ruang kepada pengungsi'."

Di level pemerintah, kata Yun Sun, ada keyakinan bahwa "Tiongkok tak menciptakan masalah" yang melahirkan pengungsi. Oleh karena itu, pemerintah lebih memilih "memperbaiki tatanan di negara-negara" asal pengungsi dan "memberikan kontribusi finansial melalui UNHCR dan kerja sama bilateral seperti dengan pemerintah Suriah".

Hampir sama dengan karakteristik masyarakat di Korea Selatan dan Jepang yang homogen, Tiongkok juga bukan negara yang dibangun dari fondasi keberagaman imigran. Sejarah ini membuat ketiga negara, meski maju dan mampu, cenderung enggan untuk membuka diri terhadap pengungsi.

Topik:

  • Ita Lismawati F Malau
  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya