China Ancam Bakal Balas Negara yang Terapkan Tes COVID Bagi Warganya

China dituding tidak jujur soal situasi COVID di negaranya

Jakarta, IDN Times - Pemerintah China bakal membalas sejumlah negara yang menerapkan kebijakan tes COVID-19 bagi warganya saat melancong ke luar negeri. Menurut otoritas di Negeri Tirai Bambu, kebijakan tes COVID-19 bagi pendatang dari China tidak didasari pertimbangan sains. Kebijakan tersebut disebut China politis dan diskriminatif. 

"Beberapa negara yang telah mengambil kebijakan pembatasan dan hanya menyasar pelancong dari China. Kebijakan yang tak didasarkan alasan sains dan penerapannya sangat tidak bisa diterima," ungkap juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Mao Ning dan dikutip dari laman Deutsche Welle pada Jumat (6/1/2023). 

"China dapat mengambil langkah balasan berdasarkan prinsip resiprositas," kata dia lagi. 

Sejumlah negara sudah memberlakukan kebijakan tes COVID-19 bagi pendatang dari China ketika mereka tiba di bandara negara tujuan. Beberapa negara yang dimaksud antara lain Amerika Serikat, Jepang, Inggris, Italia, Prancis, Korea Selatan hingga India. 

Kebijakan itu diambil usai Pemerintah China mencabut kebijakan lockdown dan nol COVID-19 pada Desember 2022 lalu. Presiden Xi Jinping mencabut dua kebijakan tersebut usai didemo besar-besaran oleh warganya sendiri. Alhasil, muncul ledakan kasus COVID-19.

Di sisi lain, sejumlah negara memutuskan menerapkan kebijakan tes COVID-19 bagi pendatang dari China karena mereka dinilai tak jujur dalam melaporkan kasus harian ke publik dan Badan Kesehatan Dunia (WHO).

Lalu, apakah Indonesia turut memperketat pendatang dari China? Apalagi telah muncul varian Omicron baru dari China yakni BF.7. 

1. WHO minta China agar jujur dan memberikan data COVID-19 real time

China Ancam Bakal Balas Negara yang Terapkan Tes COVID Bagi WarganyaPetugas medis dengan pakaian pelindung menerima pasien di Pusat Konferensi dan Pameran Internasional Wuhan, yang diubah menjadi rumah sakit sementara bagi pasien dengan gejala ringan akibat virus corona, di Wuhan, provinsi Hubei, Tiongkok (ANTARA FOTO/China Daily via REUTERS)

Salah satu alasan mengapa China dituding tak jujur soal situasi COVID-19 di negaranya lantaran angka kasus harian yang dilaporkan diduga tak sesuai dengan kenyataan di lapangan.

Sebagai gambaran, kasus harian dalam 24 jam terakhir dilaporkan bertambah 9.308. Namun, kondisi di lapangan dilaporkan lebih parah dari itu. Tenaga kesehatan mulai kewalahan menerima pasien COVID-19. Bahkan, jenazah pasien yang meninggal akibat COVID-19 menumpuk di kamar mayat rumah sakit karena belum bisa dikuburkan. 

Stasiun berita BBC melaporkan, jumlah kasus itu bisa terlihat rendah lantaran pemerintah memberlakukan kriteria khusus bagi pasien yang dinyatakan meninggal karena COVID-19. Pemerintah hanya mencatat pasien meninggal karena COVID-19 bila ia tertular virus Sars-CoV-2 dan menyerang saluran pernapasan.

Otoritas setempat tak akan mencatat pasien yang sudah memiliki komorbid, namun meninggal karena penyakit itu memburuk usai tertular Sars-CoV-2. Hal itu jelas tak sesuai dengan panduan dari WHO. 

Selain itu, Pemerintah China juga telah menghentikan kewajiban untuk melakukan tes COVID-19 secara massal. Mereka hanya mencatat kasus COVID-19 yang ditemukan melalui hasil tes di rumah sakit dan klinik. 

Itu sebabnya dalam pertemuan dengan pejabat tingkat tinggi China pada 30 Desember 2022, WHO kembali meminta Negeri Tirai Bambu agar memberikan data secara real time. Bahkan, WHO juga sudah menawarkan diri untuk mengirimkan pakar dan dukungan lain bagi China. 

"WHO menekankan pentingnya pemantauan dan publikasi yang tepat waktu untuk membantu China dan komunitas global untuk merumuskan penilaian risiko yang akurat dan menginformasikan tanggapan yang efektif," demikian isi pernyataan tertulis WHO dan dikutip dari situs resmi mereka pada Jumat, (6/1/2023). 

Badan yang bermarkas di Jenewa, Swiss itu juga kembali menekankan pentingnya vaksinasi dan booster untuk melindungi warga yang memiliki penyakit bawaan dan berisiko tinggi. Kekhawatiran dunia internasional meningkat lantaran Pemerintah China akhirnya membolehkan warganya melancong ke luar negeri.

Baca Juga: [UPDATE] Kasus Harian COVID China Tembus 5.000-an, Dituding Tak Jujur

2. Jepang wajibkan tes bagi pendatang dari China karena tak transparan

China Ancam Bakal Balas Negara yang Terapkan Tes COVID Bagi WarganyaSuasana kota Tokyo, Jepang (IDN Times/Anata)

Pemerintah Jepang mulai memberlakukan kewajiban tes COVID-19 bagi pendatang dari China sejak 30 Desember 2022 lalu. Mereka yang berada selama satu minggu terakhir dari China, wajib mengikuti tes usai tiba di bandara. 

Perdana Menteri Jepang, Fumio Kishida, mengatakan alasan pemerintahannya memberlakukan kebijakan tersebut lantaran Negeri Tirai Bambu dianggap tidak transparan dalam mengungkap data COVID-19. Hal tersebut, kata Fumio, menyulitkan pemerintahnya untuk menilai dan mengambil keputusan terkait pencegahan demi keselamatan warganya. 

Berdasarkan informasi yang dia terima, ada perbedaan besar antara data dari otoritas pusat dan daerah, kemudian pemerintah serta organisasi swasta.

"Ada kekhawatiran yang berkembang di Jepang (soal situasi COVID-19 di China). Kami telah memutuskan untuk mengambil tindakan khusus sementara untuk menanggapi situasi tersebut," ungkap Fumio seperti dikutip dari stasiun berita CNN.

Di sisi lain, meski wabah terus meluas, otoritas China tak lagi mewajibkan pendatang dari luar Negeri Tirai Bambu untuk mengikuti program karantina. Kebijakan itu bakal berlaku mulai (8/1/2023). 

3. Indonesia tak batasi kedatangan pelancong dari China, andalkan imunitas warga

China Ancam Bakal Balas Negara yang Terapkan Tes COVID Bagi WarganyaBudi Gunadi Sadikin (Dok. IDN Times/Biro Pers Kepresidenan)

Sementara, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Budi Gunadi Sadikin, memastikan pemerintah saat ini tidak melakukan pengetatan pembatasan perjalanan bagi warga. Meskipun varian Omicron BF.7 atau BA.5.2.1.7 yang bermula dari China, sudah masuk ke Indonesia. 

Tercatat, sudah ada 15 kasus Omicron BF.7 di Tanah Air. Sebanyak tujuh kasus terdeteksi di DKI Jakarta, tujuh di Bali, dan satu di Jawa Barat. Bahkan, menurut Budi, kasus pertama BF.7 terdeteksi di Pulau Dewata sejak 14 Juli 2022.

"BF.7 sudah ada 15 kasus dan tidak ada pergerakan naik. Jadi, kami merasa ya tidak perlu lagi mengetatkan, mengurangi, membatasi kegiatan masyarakat, karena imunitas sudah tinggi," ungkap Budi di Gedung PP Muhammadiyah pada Selasa, (3/1/2023). 

Pernyataan tersebut sekaligus menjawab apakah pemerintah bakal memperketat pelancong dari Negeri Tirai Bambu. 

Baca Juga: Usai Diprotes Warga, China Akhirnya Longgarkan Kebijakan Nol-COVID

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya