Indonesia Kecewa Taiwan Hentikan Terima TKI di Tengah Pandemik

Taiwan ragukan kualitas tes swab di Indonesia

Jakarta, IDN Times - Pemerintah Indonesia tidak bisa menutupi kekecewaannya ketika Taiwan memutuskan menutup akses masuk bagi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) sejak 16 Desember 2020 lalu.

Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Benny Rhamdani, sempat meminta agar Taiwan mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut. Apalagi BP2MI dan Kementerian Ketenagakerjaan sedang melakukan investigasi mengenai protokol kesehatan yang berlaku sebelum para TKI diberangkatkan ke Taiwan. 

"Kami merasa kecewa atas kebijakan Pemerintah Taiwan karena dibuat tanpa menunggu hasil investigasi Pemerintah Indonesia," ungkap Benny dalam keterangan tertulis pada Sabtu (19/12/2020). 

Pria yang sempat menjadi politikus di Partai Hanura itu menyesalkan jumlah TKI yang terpapar COVID-19 di Taiwan bertambah jadi 85 orang. Mereka dikirim oleh 14 Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI). Ia menambahkan saat ini investigasi terhadap 14 perusahaan masih dilakukan. 

"Bila memang P3MI terbukti melanggar protokol kesehatan dan tidak melakukan tes PCR kepada PMI (Pekerja Migran Indonesia) sebelum berangkat ke negara penempatan, BP2MI tentu akan merekomendasikan kepada Kementerian Ketenagakerjaan untuk mencabut izinnya," tutur dia. 

"Untuk itu, kami berharap Pemerintah Taiwan dapat mempertimbangkan hasil investigasi dari Pemerintah Indonesia," tambahnya. 

Hal lain yang juga disoroti oleh Pemerintah Taiwan yaitu mengenai kualitas tes swab di Indonesia. Mereka menilai banyak tes usap yang dilakukan di tanah air memberikan hasil false negative.

Apa penjelasan Kementerian Ketenagakerjaan mengenai sikap Pemerintah Taiwan yang ragu dengan hasil tes usap di Indonesia?

1. Tim evaluasi menemukan ada 6 perusahaan penyalur TKI hanya lakukan rapid test, bukan tes usap

Indonesia Kecewa Taiwan  Hentikan Terima TKI di Tengah PandemikSejumlah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dari Malaysia mengantre saat tiba di Bandara Internasional Kualanamu Kabupaten Deliserdang, Sumatera Utara, Kamis (9/4)(ANTARA FOTO/Septianda Perdana)

Menurut Direktur Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri, Eva Trisiana, saat ini sedang dilakukan evaluasi kepada 14 perusahaan penyalur TKI ke Taiwan yang dinyatakan tertular COVID-19. Tim evaluasi yang terdiri dari Kementerian Kesehatan, BP2MI dan Kemenaker sendiri menemukan ada enam perusahaan yang tidak mematuhi Keputusan Menteri Ketenagakerjaan nomor 294 tahun 2020. 

"Hasilnya enam perusahaan yang tidak mengindahkan Kepmenaker tersebut, dalam arti mereka tidak melakukan tes swab melainkan rapid test. Padahal, di Kepmenaker itu jelas dikatakan bahwa sebelum diberangkatkan harus tes PCR dan pemberangkatan harus sesuai dengan ketentuan Satgas dan negara penempatan," ungkap Eva ketika dihubungi IDN Times pada Sabtu (19/12/2020). 

Selain itu, ditemukan pula perusahaan penyalur TKI justru tidak memisahkan pekerja migran yang sudah melakukan tes usap. Di tempat penampungan, mereka justru dibiarkan menyatu dengan calon pekerja migran yang belum menjalani tes usap.

"Kalau dicampur lagi kan bisa terkontaminasi lagi," tutur dia. 

Situasi semakin bertambah runyam ketika para calon pekerja migran justru melakukan tes usap bukan di lokasi yang sudah ditunjuk oleh Kemenkes. "Jadi, kami akui memang ada kekeliruan di pihak P3MI," ujarnya. 

Baca Juga: Taiwan Perpanjang Larangan Masuk bagi TKI gegara Situasi COVID di RI

2. Taiwan mewajibkan biaya karantina mandiri dan tes usap ditanggung oleh majikan

Indonesia Kecewa Taiwan  Hentikan Terima TKI di Tengah PandemikIlustrasi Swab Test (ANTARA FOTO/Aji Styawan)

Kementerian Ketenagakerjaan Taiwan pada November lalu sudah menegaskan biaya karantina mandiri dan tes usap bagi pekerja migran asing wajib ditanggung oleh majikan. Bila mereka tidak membiayai karantina mandiri yang sifatnya wajib selama 14 hari, maka majikan tersebut akan dikenai denda NT$300 ribu atau setara Rp148,7 juta. 

Berdasarkan keterangan tertulis dari Kementerian Ketenagakerjaan Taiwan sudah menjadi tanggung jawab majikan untuk menanggung biaya karantina mandiri dan tes usap. Karantina mandiri itu dilakukan di hotel yang sudah ditentukan. Cara alternatif lainnya majikan bisa menghubungi agen pengerah tenaga kerja untuk membiayai atas permintaan mereka. 

Namun, menurut Ketua Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (Kabar Bumi) Iweng Karsiwen, pada praktiknya beban biaya karantina mandiri akan ditanggung oleh pekerja migran itu sendiri. 

"Potongannya akan diambil dari gaji para pekerja migran," ungkap Iweng melalui telepon pada Sabtu (19/12/2020). 

Praktik serupa juga terjadi di Singapura. Majikan memang menanggung biaya karantina mandiri bagi pekerja migran. Tetapi, gaji mereka setiap bulan dipotong.

"Di Singapura di mana mereka digaji 685 dolar Singapura (Rp7,2 juta) dan tidak diberi libur itu, hanya menerima 85 dolar Singapura (Rp903 ribu). Jadi, dipotong 600 dolar Singapura (Rp6,3 juta) dikali 6 bulan sekitar 3.600 dolar Singapura (Rp38 juta)," kata dia lagi. 

3. Kepala BP2MI sempat mengancam tak lagi mengirimkan TKI ke Taiwan

Indonesia Kecewa Taiwan  Hentikan Terima TKI di Tengah PandemikKepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Benny Rhamdani (IDN Times/Maya Aulia Aprilianti)

Di sisi lain, Kepala BP2MI, Benny Rhamdani berharap keputusan yang diambil oleh Taiwan tidak memiliki motif politis dan hanya didasari alasan kesehatan. Ia mengaku sudah sempat bertemu dengan perwakilan Taiwan di Jakarta (TETO) dan menyebut bisa saja para TKI itu tertular COVID-19 terinfeksi saat menjalani karantina mandiri di sana. 

"Kecurigaan kami, mereka jadi positif COVID-19 ketika Pemerintah Taiwan mengumpulkan mereka dan melakukan karantina mandiri ke mereka," kata Benny. 

Ia juga sempat menyebut Indonesia bisa saja mengirimkan pekerja migran ke negara lain ketimbang ke Taiwan. 

Baca Juga: TKI di Taiwan Kena Stigma Negatif Sebagai Pembawa Masuk COVID-19

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya