Menlu AS: COP26 Langkah Maju Meski Energi dari Batu Bara Masih Dipakai

Blinken menilai suara kaum muda makin nyaring di COP26

Jakarta, IDN Times - Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Antony J. Blinken tetap menganggap Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim COP26 yang dihelat di Glasgow, Inggris, sebuah kemajuan. Meskipun 11 jam terakhir sebelum KTT berakhir, India dan China berhasil intervensi hasil akhir dokumen yang diberi nama Glasgow Pact itu.

Di dalam dokumen itu, China dan India mendesak agar terdapat perubahan frasa menyetop penggunaan energi fosil batu bara menjadi mengurangi penggunaan energi tersebut. Baik China dan India diketahui sama-sama pengguna energi batu bara tertinggi di dunia. 

Blinken mengatakan meski China dan India mewakili 35 persen perekonomian dunia, tetapi negara-negara lainnya yang mewakili sisa 65 persen tetap pada kesepakatan awal. Bagi negara maju, mereka sepakat menghapus penggunaan energi batu bara pada 2030. Sedangkan, negara berkembang sepakat menyetop penggunaan energi batu bara pada 2040. 

"Poin pentingnya bila negara-negara dari 65 persen GDP dunia memenuhi komitmen itu, maka tingkat suhu di bumi akan tetap berada di suhu 1,5 derajat celcius," ungkap Blinken ketika berbincang secara eksklusif dengan IDN Times di Jakarta, Selasa, 14 Desember 2021. 

Poin penting lainnya, kata diplomat senior AS itu yakni, di COP26 semakin banyak anak muda yang bersuara dan menuntut para pemimpin dunia, untuk bertanggung jawab atas keputusan mereka memperlakukan planet bumi.

"Generasi muda dari seluruh dunia menuntut perubahan, aksi nyata, kemajuan, dan itu pendorong yang sangat penting," kata dia. 

Namun, pada kenyataannya justru banyak anak muda yang kecewa terhadap Glasgow Pact. Salah satu di antaranya yang kecewa adalah aktivis muda asal Swedia, Greta Thunberg. Aktivis yang masih berusia 18 tahun itu bahkan menyindir janji kosong para pemimpin dunia yang sejak lama mengklaim ingin menyelamatkan bumi, tetapi tindakannya malah bertolak belakang.

Apa tanggapan Menlu Blinken mengenai sikap para pemimpin dunia yang ingkar janji tersebut?

1. Menlu Blinken akui hasil Glasgow Pact tak sesuai harapan

Menlu AS: COP26 Langkah Maju Meski Energi dari Batu Bara Masih DipakaiGrafis antiklimaks hasil KTT COP26 Glasgow pada November 2021 (IDN Times/Aditya Pratama)

Dalam wawancara dengan IDN Times, Menlu Blinken mengakui kesepakatan di KTT COP26 Glasgow jauh dari target dan harapan. Negara lainnya, termasuk AS, masih perlu membujuk China dan India agar menggunakan energi terbarukan dan bukan batu bara. 

"Tetapi, apa yang dihasilkan di COP26 tetap adalah langkah maju meski belum cukup. Hal lain yang lebih penting yaitu bagaimana (negara) dengan 65 persen perekonomian dunia mengimplementasi komitmen yang dicapai di sana. Kemudian, kita harus mengajak (negara) 35 persen GDP lainnya yang belum terlibat agar ikut serta," kata Blinken. 

Ia juga mengaku kagum karena di COP26 Glasgow, anak-anak muda semakin berani menyuarakan aspirasi mereka. Kaum muda, kata Blinken, menuntut para pemimpin dunia agar bertanggung jawab terhadap keputusan yang dibuat menyangkut lingkungan. 

"Itu (aspirasi kaum muda) bermakna pesan bahwa kami berada di sini untuk kepentingan generasi muda," kata Blinken. 

Baca Juga: Menlu AS Antony Blinken Berkunjung Perdana ke RI, Bakal Bahas Apa?

2. Aktivis lingkungan Greta Thunberg nilai janji para pemimpin dunia untuk jaga bumi sekadar omong kosong

Menlu AS: COP26 Langkah Maju Meski Energi dari Batu Bara Masih DipakaiAktivis iklim, Greta Thunberg, saat mengikuti aksi #ClimateStrike di New York, Amerika Serikat, pada 20 September 2019. instagram.com/gretathunberg

Salah satu anak muda yang aktif menyuarakan pendapatnya soal lingkungan hidup adalah Greta Thunberg. Bahkan, ketika berbicara di hadapan para pemimpin dunia, Thunberg tanpa basa-basi menyebut janji tokoh-tokoh penting itu sekadar janji palsu.

Aktivis berusia 18 tahun itu memaki janji para pemimpin dunia dengan menggunakan istilah "blah.. blah.. blah.." Thunberg mengaku lelah mendengar janji para pemimpin dunia yang mengaku ingin mengatasi dampak perubahan iklim di bumi. 

"Ingin membangun (peradaban) yang lebih baik, blah.. blah.. blah.." ujar Thunberg pada pertemuan tingkat tinggi anak muda mengenai iklim di Italia dan dikutip harian Washington Post pada 29 September 2021. 

"Tidak ada planet B, tidak ada planet blah.." ungkap Thunberg, menirukan pernyataan para pemimpin dunia di hadapan Presiden Joe Biden hingga Perdana Menteri Boris Johnson. 

Bagi Thunberg, kalimat para pemimpin hanya terdengar hebat di telinga. Tetapi, tidak ada aksi nyata hingga saat ini untuk mengurangi dampak perubahan iklim. 

"Mimpi dan harapan kita tenggelam dalam janji dan kata-kata kosong mereka," kata dia. 

Aktivis lingkungan asal Uganda, Vanessa Nakate, bahkan menyebut negara-negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim masih menanti janji dana senilai 11 miliar dolar AS yang dijanjikan negara-negara maju. Dana itu bakal digunakan negara-negara berkembang agar tetap menjaga lingkungannya lestari. 

3. Komitmen Indonesia cegah deforestasi dipuji eks Menlu AS John Kerry

Menlu AS: COP26 Langkah Maju Meski Energi dari Batu Bara Masih DipakaiUtusan Amerika Serikat di bidang iklim, John Kerry. (Twitter.com/ClimateEnvoy)

Sementara, di KTT COP26, Indonesia juga membanggakan pencapaiannya untuk mengatasi krisis iklim. Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Pandjaitan mengatakan pemerintah serius dalam upaya mengendalikan perubahan iklim. Apalagi Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dan memiliki hutan hujan tropis yang luas. 

"Maka, sudah menjadi kepentingan nasional Indonesia untuk menanggulangi perubahan iklim," ujar Luhut melalui juru bicaranya kepada IDN Times pada 22 Oktober 2021. 

Luhut menjelaskan sudah banyak contoh bentuk keseriusan Indonesia dalam upaya menanggulangi dampak perubahan iklim. Dalam laju deforestasi atau penggundulan hutan, kata dia, Indonesia telah turun ke level terendah dalam 20 tahun terakhir. 

"Ini semua bisa dicapai melalui langkah-langka kebijakan, pemberdayaan dan penegakan hukum yang konsisten," kata dia. 

Kebakaran hutan pun, kata Luhut, sudah menurun drastis. Angka penurunannya mencapai 82 persen. Kini pun sudah tidak ada lagi asap kebakaran hutan Indonesia mampir ke negara tetangga. Menurut dia, beberapa wilayah seperti Amerika Serikat, Australia, dan Eropa justru meningkat besar soal kebakaran hutan. 

"Pencegahan konversi hutan alam dan lahan gambut pun sudah mencapai 66 juta hektare" tutur dia. 

Lebih lanjut, Luhut mengatakan, upaya Indonesia untuk mencegah deforestasi telah diakui eks Menteri Luar Negeri Amerika Serikat yang kini menjadi utusan khusus perubahan iklim, John Kerry. Dia menyebut di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Indonesia memberlakukan moratorium hutan primer dan gambut pada 5 Agustus 2019. 

"Dan saya tahu betapa besarnya upaya Indonesia untuk menghasilkan kontribusi besar di Glasgow. Bahkan, antara 2019 hingga 2020, Indonesia berhasil menurunkan tingkat deforestasi ke tingkat terendah dalam 20 tahun terakhir," ujar Kerry dalam video yang diunggah ke akun Instagram Menteri Siti. 

"Gagasan-gagasan baru akan dilaksanakan untuk mengembalikan ratusan ribu hektare hutan bakau di empat tahun ke depan," kata Kerry lagi. 

https://www.youtube.com/embed/-hi1obye0JU

Baca Juga: Menlu Blinken: Klaim Sepihak China sampai ke Natuna Tidak Dibenarkan

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya