Trump Dikabarkan Sengaja Tak Mau Ngaku Kalah karena Ingin Balas Dendam

Trump ingin balas sikap Demokrat saat pemilu 2016

Jakarta, IDN Times - Presiden Donald J Trump dikabarkan menyadari kalah dari Joe Biden dalam pemilu 3 November 2020. Tetapi, ia sengaja menolak mengakui kekalahan di depan publik Amerika Serikat, karena ingin membalas dendam ke Partai Demokrat soal pemilu 2016. 

Stasiun berita CNN, Minggu, 22 November 2020 melaporkan pernyataan seorang sumber yang paham terhadap pola pikir Trump. Sumber itu menyebut, pangkal permasalahan Trump masih menolak mengakui kekalahan dari Joe Biden, karena geram terhadap pernyataan Hillary Clinton dan Barack Obama yang pernah meremehkan kemenangannya pada pemilu 2016.

Ketika itu, baik Clinton maupun Obama bolak-balik menyebut Trump bisa menang pemilu empat tahun lalu karena dibantu Rusia. 

Menurut orang-orang di sekitar Trump, pernyataan semacam itu justru bisa berpengaruh terhadap hasil akhir pemilu 2016. Sehingga, menurut Trump, itu semua baru adil bila tak mengakui Biden sebagai presiden terpilih di Negeri Paman Sam.

Meski Clinton pada malam pemilu 2016 langsung mengakui kekalahannya. Sehingga, tim transisi Trump bisa langsung mulai bekerja. 

Namun, situasi berbeda justru terjadi ketika ia kalah dalam pemilu 2020. Sejak diproyeksikan oleh berbagai media besar di AS bahwa ia hanya menjabat sebagai presiden hanya satu periode, Trump jarang tampil di hadapan publik. 

Bahkan, ia bolos dalam pertemuan satgas penanganan COVID-19 yang kembali digelar usai enam bulan absen. Trump juga memilih bermain golf ketimbang mendengarkan masukan dari pimpinan negara G20 mengenai penanganan pandemik. 

Beberapa teman dan kolega bisnis Trump telah membujuknya agar membiarkan proses transisi berjalan, meski ia masih enggan mengaku kalah. Tetapi, menurut sumber CNN, bujukan itu tetap tak didengar Trump. "Tidak, kamu salah! Betul-betul (langkah) keliru," demikian kata sumber itu yang menirukan pernyataan Trump. 

Apa dampaknya sikap kekanak-kanakan Trump ini terhadap situasi pandemik di AS? Apa langkah Biden untuk mempersiapkan pemerintahannya sebelum dilantik pada 20 Januari 2021?

1. Sikap kekanak-kanakan Trump malah dikritik koleganya dari Partai Republik

Trump Dikabarkan Sengaja Tak Mau Ngaku Kalah karena Ingin Balas DendamPresiden Amerika Serikat Donald Trump, Ibu Negara Melania Trump dan putra mereka Barron menuruni tangga pesawat Air Force One saat tiba di Pangkalan Udara Andrews usai liburan Thanksgiving, di Maryland, Amerika Serikat, pada 1 Desember 2019. ANTARA FOTO/REUTERS/Yuri Gripas

Meski sebagian besar anggota senat dari Partai Republik mendukung sikap Trump yang menolak mengakui kekalahan, tidak begitu dengan dua gubernur negara bagian dari partai tersebut. Dua gubernur itu adalah Larry Hogan dari Maryland dan Charlie Baker dari Massachusetts. 

Dikutip dari laman The Week, Hogan bahkan mengkritik sikap kekanak-kanakan yang ditunjukkan Trump membahayakan jiwa warga Amerika Serikat. Justru yang dibutuhkan oleh warga Negeri Paman Sam saat ini adalah strategi cepat untuk mengatasi pandemik COVID-19 yang telah menewaskan 262.696 jiwa di sana. 

"Benar-benar tidak bisa dipercaya. Di tengah situasi pandemik, ekonomi kolaps, orang-orang sekarat di seluruh negeri ini, lalu melihat proses transisi belum terjadi hingga detik ini, benar-benar sulit dipercaya. Tanpa adanya paket stimulus, absennya bantuan pemulihan dari virus corona, Anda semua tahu, ini semua gila. Kita harus secepatnya bergerak," ungkap Hogan ketika memberikan keterangan pers pekan lalu. 

Di tempat terpisah, keluhan serupa juga disampaikan Gubernur Charlie Baker. Ia bahkan menyebut tuduhan Trump soal kecurangan penghitungan suara tidak didasari bukti yang jelas. "Sangat tidak elok bila Jaksa Agung William Barr ikut campur masalah ini," kata Baker. 

Baker mengatakan menghalang-halangi, khususnya dalam situasi seperti ini tidak bisa diterima dengan akal sehat. "Saya tidak bisa memikirkan kapan waktu yang lebih buruk untuk menunda proses transisi di tengah pandemik yang mematikan. Pemerintah federal harus terus bertanggung jawab untuk merespons hal itu," ujarnya. 

Baca Juga: Istri dan Menantu Bujuk Donald Trump Agar Terima Kekalahan di Pilpres

2. Joe Biden tetap menyusun pemerintahan transisi meski tidak diberi data intelijen oleh Trump

Trump Dikabarkan Sengaja Tak Mau Ngaku Kalah karena Ingin Balas DendamCalon Presiden Amerika Serikat dari Demokrat Joe Biden menarik turun masker pelindungnya saat ia berbicara dalam acara kampanye di Philadelphia, Pennsylvania, Amerika Serikat, Minggu (1/11/2020) (ANTARA FOTO/REUTERS/Kevin Lamarque)

Sementara, presiden terpilih Joe Biden tetap bergerak dengan menyusun pemerintahan transisi. Namun, Trump sengaja memblokir Biden memperoleh informasi mengenai data intelijen dan counter-intelijen. 

Laman Filipina, The Inqiuirer pada 12 November 2020, melaporkan Biden sempat diberi data intelijen sebelum diproyeksikan sebagai pemenang pemilu oleh media. Tetapi, menurut seorang sumber, data itu tidak lagi diterima oleh Biden. 

Juru bicara untuk tim transisi Biden menolak berkomentar mengenai adanya penundaan informasi mengenai intelijen kepada presiden terpilih. Biden juga terlihat enggan membesar-besarkan isu tersebut di hadapan publik. 

Sedangkan, Direktur Intelijen Nasional John Ratcliffe, seorang sekutu yang setiap terhadap Trump, mengaku tidak bisa berbicara dengan tim transisi Biden hingga administrasi saat ini memulai proses transisi. 

3. Prioritas utama Joe Biden dan Kamala Harris saat menjabat nanti yakni mengendalikan pandemik COVID-19

Trump Dikabarkan Sengaja Tak Mau Ngaku Kalah karena Ingin Balas DendamJoe Biden dan Kamala Harris,pasangan Calon Presiden dan wakil Presiden dari Partai Demokrat. https://www.businessinsider.com/

Di dalam pidato yang disampaikan pada 23 Oktober 2020, Biden dan Harris telah menyampaikan ke publik tujuh poin rencana mereka untuk mengatasi pandemik COVID-19. Secara garis besar, Biden dan Harris akan kembali membawa Negeri Paman Sam ke jalur semula untuk mengendalikan pandemik yang telah menewaskan lebih dari 240 ribu warga AS. 

Laman Time melaporkan, para ahli merasa lega ketika mendengar pemaparan keduanya. Sebab, sejak awal, Pemerintah AS harus mendengarkan masukan dari para ahli dan mengandalkan sains. Tetapi, menurut ilmuwan dari Johns Hopkins Center for Health Security, Eric Toner, rencana secara garis besar saja tidaklah cukup. 

"Semuanya ditentukan dari detail rencana dan eksekusi di lapangan," kata Toner. 

Ia juga mewanti-wanti semua rencana yang dipaparkan Biden itu masih belum diketahui bagaimana akan diformulasikan menjadi kebijakan bila ia benar-benar terpilih jadi Presiden AS. 

Berikut rencana Biden dan Harris dalam mengatasi pandemik COVID-19: 

  • Meningkatkan jumlah orang yang dites per hari dan per minggu dengan cara menambah dua kali lipat tempat untuk pengetesan. Pemerintah akan berinvestasi di tes rapid dan tes yang dapat dilakukan di rumah.
  • Membentuk kelompok yang terdiri dari 100 ribu pekerja untuk melacak kasus COVID-19. Kelompok ini akan berkolaborasi dengan masyarakat.
  • Mempercepat proses produksi alat pelindung diri seperti face shields dan masker.
  • Bekerja sama dengan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit untuk membuat panduan yang jelas di beberapa sektor seperti bisnis, sekolah, dan fasilitas publik lainnya yang hendak dibuka.
  • Membuat dan menginvestasikan dana senilai US$25 miliar untuk memproduksi dan mendistribusikan vaksin.
  • Melindungi warga yang rentan terpapar COVID-19 seperti lansia dan orang-orang kulit hitam.
  • Memulihkan tanggung jawab Gedung Putih untuk memantau risiko perkembangan kesehatan global.
  • Mendorong agar semua negara bagian memberlakukan kebijakan wajib mengenakan masker.

Baca Juga: Joe Biden Kecam Donald Trump yang Tolak Hasil Akhir Pilpres

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya