Sekolah dan Siswa di Myanmar Menentang Kebijakan Junta Buka Sekolah

Jakarta, IDN Times - Sekolah-sekolah di Myanmar akan dibuka mulai Selasa (1/6/2021) untuk pertama kalinya, sejak junta militer melengserkan kekuasaan sipil yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi. Tetapi, para guru dan siswa menentang seruan tersebut sebagai bentuk perlawanan terhadap Jenderal Min Aung Hlaing.
Krisis politik di Myanmar sejak 1 Februari 2021 telah menewaskan lebih dari 800 orang, berdasarkan laporan asosiasi pemantau setempat. Guru dan siswa turut bergabung dalam gerakan pemberontakan sipil yang memadati kota-kota di Burma, bergabung dengan dokter, pegawai negeri, dan pekerja kereta api.
Junta bersikeras bahwa sekolah harus dibuka kembali setelah absen satu tahun karena pandemik COVID-19. Namun, para guru memiliki alasan tersendiri ketika mereka menolak imbauan tersebut.
"Saya tidak takut dengan penangkapan dan penyiksaan mereka. Saya hanya takut menjadi guru yang mengajarkan propaganda kepada siswa,” kata Shwe Nadi, seorang guru dari Yangon yang tidak mengungkap nama aslinya, sebagaimana dikutip dari Channel News Asia.
1. Banyak guru yang dipecat oleh junta
Shwe Nadi merupakan satu dari ribuan guru yang dipecat oleh junta karena terlibat dalam demonstrasi.
“Tentu saja saya merasa tidak enak kehilangan pekerjaan karena saya senang menjadi guru. Meski tidak dibayar dengan baik, kami bangga menjadi guru karena orang lain menghormati kami,” kata lelaki berusia 28 tahun itu.
Nu May, bukan nama sebenarnya, tidak menyesal meski kehilangan pekerjaan sebagai guru sekolah dasar. Hati nuraninya memanggil untuk terjun ke jalan, bergabung dengan kelompok massa yang menolak tindakan sewenang-wenang militer.
"Ketika saya melihat bagaimana mereka telah membunuh banyak orang, saya merasa saya tidak ingin menjadi guru (di bawah rezim) mereka (junta) lagi," tambahnya.