Penanganan COVID-19 di Myanmar Memburuk Sejak Kudeta Militer

Jakarta, IDN Times - Lun Za En, seorang perawat di Rumah Sakit Chika, Myanmar, hanya bisa menawarkan kata-kata baik dan parasetamol kepada para pasien COVID-19. Imbas kudeta yang terjadi sejak 1 Februari 2021, Myanmar kini menghadapi krisis kesehatan ketika dunia diterjang pandemik.
Dilansir dari Channel News Asia, Lun Za tampak kelimpungan menghadapi tujuh pasiennya. Dia hanya dibantu seorang teknisi lab dan asisten apoteker. Mereka harus menghadapi pasien dalam situasi sesak napas, demam, dan kekurangan oksigen.
"Kami tidak memiliki cukup oksigen, peralatan medis, listrik, dokter atau ambulans. Kami beroperasi hanya dengan tiga staf,” katanya.
1. Penanganan pandemik membuurk sejak kudeta

Kampanye anti-COVID-19 Myanmar kandas bersamaan dengan kelumpuhan sistem kesehatan lainnya, pasca junta militer menggulingkan Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint, yang pemerintahnya telah meningkatkan pengujian, karantina, dan perawatan.
Layanan di rumah sakit runtuh setelah banyak dokter dan perawat bergabung dalam Gerakan Pembangkangan Sipil di garis untuk menentang kekuasaan militer. Tidak sedikit dari mereka harus menderita akibat sikap aparat yang represif.
World Health Organization (WHO) melaporkan, 13 petugas medis meninggal dan lebih dari 179 serangan diarahkan kepada fasilitas kesehatan. Sekitar 150 petugas kesehatan juga ditangkap aparat. Ratusan dokter dan perawat lainnya masih menjadi buron atas tuduhan penghasutan.
2. Angka pengujian menurun drastis

Seorang pekerja di Yangon mengatakan semua tenaga kesehatan spesialis di sana telah bergabung dengan Gerakan Pembangkangan Sipil.
"Kemudian, kami tidak menerima pasien baru lagi karena pusat tes COVID tidak memiliki staf untuk pengujian," kata pekerja yang menolak menyebutkan namanya karena takut ditangkap.
Seminggu sebelum kudeta, tes COVID-19 secara nasional rata-rata lebih dari 17 ribu sehari. Angkanya menurun signifikan hingga di bawah 1.200 tes dalam sehari.
Sejauh ini, Myanmar telah melaporkan lebih dari 3.200 kematian akibat COVID-19 dari lebih 140.000 kasus. Sayangnya, data tersebut ditanggapi dengan keraguan karena rendahnya pengujian harian.
3. Varian baru menjadi ancaman

Sekarang, sistem kesehatan dalam krisis ketika negara-negara tetangganya, seperti India dan Thailand, menghadapi gelombang lanjutan dari pandemik akibat varian baru.
Penderita gejala COVID-19 mulai muncul di RS Cikha pada pertengahan Mei lalu. Jaraknya hanya enam kilometer dari India. Petugas kesehatan khawatir penyakit itu bisa jadi jenis B1617 yang sangat menular, meski mereka tidak memiliki sarana untuk mengujinya.
"Sangat mengkhawatirkan bahwa pengujian, pengobatan, dan vaksinasi COVID-19 sangat terbatas di Myanmar karena lebih banyak nyawa berisiko dengan penyebaran varian baru yang lebih berbahaya," kata Luis Sfeir-Younis, manajer operasi COVID-19 Myanmar untuk Federasi Internasional Masyarakat Palang Merah dan Bulan Sabit Merah.
WHO mengatakan bahwa pihaknya berusaha menjangkau pihak berwenang dan kelompok lain di daerah Chika. Kendati begitu, sengketa politik tetap akan menjadi hambatan besar untuk menangani krisis kesehatan di negara tersebut.
"Junta tidak akan merawat pasien kami. Saya sangat khawatir infeksi baru ini akan menyebar ke seluruh negeri. Jika infeksi menyebar ke kota-kota yang padat, itu bisa jadi tidak terkendali," kata Lun Za En.