Penduduk Lebanon dalam sebuah aksi protes (Unsplash/Christelle Hayek)
Dilansir Canadians for Justice & Peace in the Middle East (CJPME), banyak akademisi yakin bahwa konfesionalisme sudah hadir di Lebanon sejak abad ke-13. Kemudian, sejak Lebanon diduduki oleh kolonial Prancis pada 1920-an, hal yang sama juga mulai diterapkan atas dorongan kaum Kristen Maronit.
Kala itu, sistem ini didominasi oleh Maronit sendiri, di mana mereka menguasai hampir sepenuhnya kursi pemerintahan sentral.
Lahirnya pembagian kekuasaan ini dilandasi upaya Prancis dan Maronit dalam menyatukan Lebanon Raya yang terdiri dari wilayah Mont-Liban, yang diduduki Maronit, dengan wilayah pesisir Beirut, Sidon, Tirus dan Tripoli, serta Lembah Bekaa, yang diduduki sebagian besar muslim.
Masyarakat Arab, terutama Suriah, saat itu menentang keras klaim tersebut dan menyarankan agar wilayah itu tetap berada di bawah kendali Suriah. Sementara, komunitas Maronit dan Prancis tetap bersikukuh atas klaimnya itu.
Barulah pada 1943, ketika kolonialisme Prancis berakhir, masyarakat muslim setuju untuk lepas dari wilayah Arab dan bergabung dengan Lebanon. Kekuasaan kemudian dibagi untuk masing-masing agama dan sekte dalam sebuah perjanjian yang disebut Pakta Nasional.
Pembagian kekuasaan masa itu dilakukan berdasarkan bobot demografis Lebanon, dengan perbandingan 6:5 untuk Kristen dan Muslim di parlemen berdasarkan sensus 1932 di bawah mandat Prancis.
Konstitusi menjamin semua 18 sekte agama di negara itu dan memastikan semuanya memiliki perwakilan di pemerintahan, militer, dan pegawai negeri. Sistem ini dilihat sebagai upaya untuk memastikan kesetaraan dalam pemerintahan, di mana Lebanon merupakan negara yang plural.
Yang paling utama adalah tiga posisi kunci pemerintahan negara yang diduduki oleh tiga sekte besar yakni kursi presiden oleh Kristen maronit, perdana menteri oleh muslim sunni, dan ketua parlemen oleh muslim syiah.