Respons global terhadap rudal hipersonik, termasuk yang dikembangkan oleh Iran, telah memicu perhatian besar dari berbagai negara, terutama yang memiliki kepentingan strategis dan keamanan global. Pengembangan rudal hipersonik yang mampu melaju dengan kecepatan minimal Mach 5 atau lima kali kecepatan suara dianggap sebagai revolusi dalam teknologi senjata militer karena kemampuan manuvernya yang tinggi dan sulitnya dicegat oleh sistem pertahanan yang ada. Rudal hipersonik tidak hanya menghadirkan ancaman baru bagi negara-negara yang berpotensi menjadi sasaran, tetapi juga memicu perlombaan senjata teknologi tinggi yang semakin intensif.
Rusia dan China telah menunjukkan kemajuan signifikan dalam pengembangan senjata hipersonik. Rusia, merupakan negara pertama yang secara resmi menggunakan rudal hipersonik dalam pertempuran. Salah satu senjata yang terkenal adalah rudal hipersonik Kinzhal, yang digunakan selama invasi Rusia ke Ukraina. Penggunaan rudal ini menegaskan kemampuan Rusia dalam mengoperasikan senjata hipersonik dalam konteks pertempuran nyata, yang secara tidak langsung memperkuat posisi mereka dalam arena kekuatan militer global.
Di sisi lain, China telah mengembangkan dan memamerkan senjata hipersoniknya dalam berbagai uji coba, termasuk rudal hipersonik DF-ZF. Beijing menganggap senjata ini sebagai bagian penting dari strategi pertahanannya, yang bertujuan untuk memperkuat kemampuan serang jarak jauh dan pertahanan wilayah, terutama di kawasan Laut China Selatan. Dengan kecepatan dan kemampuan manuvernya, rudal hipersonik ini diharapkan mampu menembus sistem pertahanan udara negara-negara pesaing, terutama Amerika Serikat.
Meskipun telah melakukan beberapa uji coba terhadap rudal hipersonik, Amerika Serikat justru tertinggal dari Rusia dan China dalam hal penggunaan senjata ini di lapangan. Pentagon mengakui bahwa mereka perlu mempercepat pengembangan teknologi hipersonik agar tidak tertinggal dalam perlombaan senjata global. Salah satu tantangan utama dalam pengembangan rudal hipersonik bagi AS adalah masalah teknis, seperti mengatasi suhu ekstrem akibat gesekan dengan atmosfer serta kesulitan komunikasi ketika rudal memasuki kembali atmosfer.
Namun, meskipun tertinggal, AS tetap fokus pada pengembangan rudal hipersonik sebagai bagian dari modernisasi militernya. Dengan anggaran besar yang dialokasikan untuk riset dan pengembangan, AS berusaha mengejar ketinggalannya, sembari memperkuat sistem pertahanan yang mampu melacak dan mencegat rudal hipersonik musuh.
Di luar Rusia, China, dan Amerika Serikat, banyak negara lainnya juga mulai terlibat dalam penelitian dan pengembangan rudal hipersonik, meskipun dengan berbagai tantangan dan keterbatasan. Negara-negara NATO, seperti Prancis dan Jerman, juga memperlihatkan minat dalam mengembangkan teknologi ini, dengan tujuan meningkatkan kemampuan pertahanan kolektif di Eropa. India, yang sedang bersaing dengan China di kawasan Asia Selatan, juga telah memulai uji coba rudal hipersoniknya sendiri, yang disebut Shaurya, sebagai bagian dari program modernisasi militernya.
Meskipun rudal hipersonik dapat memberikan keunggulan strategis, risiko yang dibawa oleh teknologi ini sangat tinggi. Karena rudal hipersonik bergerak sangat cepat dan sulit dideteksi, negara-negara yang terlibat dalam konflik mungkin hanya memiliki waktu yang sangat singkat untuk merespons, yang dapat memicu keputusan militer yang gegabah atau bahkan eskalasi konflik besar-besaran.