Suriah Batalkan Perjanjian Militer dengan Rusia

Jakarta, IDN Times - Pemerintah baru Suriah, pada Rabu (22/1/2025), mengumumkan akhir dari perjanjian kesepakatan soal pangkalan militer Rusia di Tartus. Pangkalan militer itu sangat penting bagi Rusia karena menjadi lokasi transit operasi militernya di Afrika.
Setelah kejatuhan mantan Presiden Bashar al-Assad, keberadaan pangkalan militer Rusia di negara Timur Tengah itu semakin terancam. Moskow sudah mengupayakan dialog untuk membujuk Damaskus mempertahankan pangkalan militer tersebut.
1. Tolak perjanjian kerja sama pangkalan AL Tartus
Kementerian Informasi Suriah mengatakan, kerja sama peminjaman pangkalan Angkatan Laut Tartus selama 49 tahun. Kerja sama itu telah disetujui oleh Assad pada 2017 di tengah berkecamuknya Perang Sipil Suriah.
Melansir The Moscow Times, pemerintah setempat juga sudah mendesak penarikan seluruh tentara Rusia dari teritori negaranya.
"Pendapatan dari pelabuhan tersebut akan memberikan pemasukan bagi Suriah. Kami menolak kerja sama sebelumnya yang mana Rusia dapat menerima 65 persen pendapatan dari pelabuhan Tartus. Kami juga akan menginvestigasi dampak ekonomi pada negara kami," terangnya.
Tak hanya soal pangkalan militer, perjanjian Rusia-Suriah juga mengenai investasi jangka panjang di Tartus. Moskow berencana menginvestasikan 500 juta dolar AS (Rp8,1 triliun) untuk membangun dan meningkatkan kapasitas pelabuhan Tartus dari 4 juta ton menjadi 38 juta ton per tahun.
2. Kemampuan militer Rusia di Afrika akan berkurang
Badan Intelijen Militer Inggris mengatakan, pembatasan perjanjian tersebut akan mengurangi kemampuan militer Rusia untuk menjadi titik suplai di Laut Mediterania.
"Tidak ada yang alternatif pangkalan militer Rusia di kawasan Mediterania. Ini akan berdampak pada bantuan logistik untuk mendukung militernya dan pasukan swasta di Afrika, serta membatasi hancurnya reputasi militernya setelah kejatuhan Assad," tuturnya, dikutip Euromaidan Press.
Pembatalan ini menjadi perubahan arah politik yang signifikan dari Suriah di bawah kepemimpinan Hayat Tahrir al-Sham (HTS). Bahkan, pemerintahan baru tidak memperbolehkan Rusia untuk memindahkan senjata modern milik Rusia, seperti S-400.
3. Uni Eropa ingin angkat sanksi ekonomi kepada Suriah
Uni Eropa (UE) berencana mencabut sanksi ekonomi kepada Suriah secara berkala. Brussels juga berniat mendukung proses transisi pemerintahan baru di Suriah.
"Konsensus secara luas sudah disampaikan oleh beberapa anggota UE dalam rangka mengurangi sanksi dari UE. Ini perlu unutk memberikan sinyal positif dukungan dan transisi pemerintahan baru di Suriah," terangnya, dilansir Reuters.
Sejumlah negara anggota UE sudah mengusulkan kelanjutan pengaruh pada pemerintahan baru di Suriah. Langkah ini berfungsi mencegah adanya perubahan yang tidak diinginkan dan tidak berjalan sesuai yang diharapkan.