Di sisi lain, dalam sebuah wawancara dengan BBC News, juru bicara Taliban, Suhail Shaheen mangatakan bahwa kepanikan dan kekhawatiran semacam itu seharusnya tidak perlu terjadi karena kehidupan perempuan nantinya akan tetap dijamin dapat berjalan dengan tentram di bawah pemerintahan mereka. "Kami akan menghormati hak-hak perempuan ... kebijakan kami adalah bahwa perempuan akan memiliki akses ke pendidikan dan pekerjaan, serta untuk mengenakan jilbab," katanya.
Meski demikian, komentar tersebut justru datang di saat fakta menunjukkan sebaliknya. Reuters melaporkan, saat ini banyak perempuan yang mulai kehilangan pekerjaan mereka hingga dipaksa meninggalkan universitas (dalam beberapa kasus), di wilayah-wilayah yang telah terlebih dulu dikuasai.
Salah satu contohnya terjadi pada awal Juli, ketika gerilyawan Taliban merebut kota Kandahar dan memaksa sembilan wanita yang bekerja di bank untuk pulang dan tidak kembali lagi. “Sungguh aneh tidak diizinkan bekerja, tetapi sekarang beginilah adanya,” kata Noor Khatera (43), yang pernah bekerja di departemen tersebut.
Insiden itu merupakan tanda awal bahwa hak perempuan Afghanistan perlahan-lahan mulai dicabut. Berbagai ungkapan frustasi pun terus mengalir dan bermunculan terutama melalui media sosial. "Dengan setiap kota runtuh, tubuh manusia runtuh, mimpi runtuh, sejarah dan masa depan runtuh, seni dan budaya runtuh, kehidupan dan keindahan runtuh, dunia kita runtuh," tulis warga Afghanistan, Rada Akbar, di Twitter. "Seseorang tolong hentikan ini."