Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi warga Uighur di Xinjiang, China (unsplash.com/simon sun)

Jakarta, IDN Times - Keluarga salah satu warga Uighur yang diduga dideportasi paksa oleh Thailand ke China mengecam tindakan Bangkok sebagai hal yang memalukan. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memperingatkan bahwa mereka yang dikirim kembali ke China menghadapi risiko penyiksaan yang nyata.

Pekan lalu, Thailand memulangkan 40 warga Uighur yang telah ditahan di negara itu selama 10 tahun ke wilayah Xinjiang, China. Pemerintah mengklaim bahwa mereka kembali secara sukarela.

"Siapa yang ingin keluarganya dikirim kembali ke tempat seperti itu, tanpa kebebasan dan di mana semuanya diawasi oleh pemerintah? Itu bohong. Keluarga mereka di China tahu kesulitan apa yang mereka hadapi," kata Mihriman Muhammed, yang melarikan diri dari Xinjiang pada 2014, dilansir dari The Guardian.

1. Keluarga tidak tahu nasib anggota keluarga mereka yang ditahan di Thailand

Muhammed dan suaminya saat itu, Polat, memutuskan meninggalkan Korla, kota terbesar kedua di Xinjiang, setelah mengalami tekanan dari pihak berwenang. Ia pernah ditangkap dan dipaksa oleh polisi untuk melepas hijabnya, sementara Polat dilarang salat di masjid. Muhammed, yang sedang dalam keadaan hamil, dan putra mereka berhasil mencapai Turki, namun suaminya ditangkap dan ditahan di Thailand.

"Kami hanya menginginkan kehidupan yang damai di mana kami dapat membesarkan anak-anak kami dan tidak dianggap sebagai penjahat,” kata Muhammed, seraya menambahkan bahwa putrinya yang kini berusia 10 tahun tidak pernah bertemu ayahnya.

Sejak penangkapan Polat, Muhammed tidak pernah mendapatkan informasi tentang keadaannya dari otoritas China, Thailand, ataupun Turki. Pihak berwenang juga belum merilis nama 40 warga Uighur yang dideportasi oleh Thailand pekan lalu.

“Memalukan bagi Thailand mengirim orang-orang ini ke China, padahal keluarga mereka dan seluruh dunia tahu bahwa itu bukan tempat yang aman bagi orang Uighur. Segala sesuatu yang dilakukan China sudah direncanakan. Dunia harus lebih waspada karena setelah mereka dideportasi, tidak ada jalan untuk kembali," ujar perempuan itu.

2. Pulang ke China sama dengan dipenjara atau mati

Dalam surat yang diduga ditulis oleh tiga warga Uighur lainnya yang ditahan di Thailand, para tahanan memohon agar tidak dipulangkan ke China. Mereka mengaku diminta menandatangani dokumen persetujuan untuk dipulangkan secara sukarela, tetapi menolak melakukannya. Menurut mereka, kembali ke negara itu berarti menghadapi penjara atau kematian.

Sebelumnya, Thailand mengatakan telah menerima jaminan dari China bahwa warga Uighur yang dideportasi akan diperlakukan dengan baik dan tidak akan mengalami perlakuan buruk.

Kedutaan Besar China di Thailand menyatakan bahwa orang-orang yang dideportasi tersebut meninggalkan negaranya secara ilegal dan bukanlah pengungsi. Pihaknya juga menjelaskan bahwa mereka yang dipulangkan akan dibantu untuk berintegrasi kembali ke kehidupan mereka sebelumnya, serta diberikan dukungan pekerjaan dan pelatihan kejuruan.

Pelatihan kejuruan sendiri merupakan istilah yang sering dikaitkan dengan kamp penahanan dan program kerja paksa yang dijalankan oleh otoritas China.

3. PBB kecam deportasi paksa tersebut

Keputusan Thailand untuk mendeportasi 40 warga Uighur tersebut menuai kecaman dari internasional. Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB, Volker Turk, menyebut insiden itu sangat mengkhawatirkan. Ia mengatakan bahwa deportasi paksa tersebut melanggar prinsip-prinsip yang tercantum dalam Konvensi PBB Menentang Penyiksaan, Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

Banyak warga Uighur telah meninggalkan Xinjiang dalam beberapa tahun terakhir. China dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk penyiksaan dan penahanan sekitar 1 juta warga Uighur serta minoritas Muslim lainnya. Namun, Beijing membantah semua tuduhan tersebut.

Dilansir dari BBC, ada sekitar 12 juta warga Uighur, yang mayoritas beragama Islam, tinggal di Xinjiang. Warga Uighur memiliki bahasa sendiri yang mirip dengan bahasa Turki, dan menganggap diri mereka lebih dekat dengan negara-negara Asia Tengah secara budaya serta etnis. Jumlah mereka kurang dari setengah populasi Xinjiang.

Dalam beberapa dekade terakhir, terjadi migrasi besar-besaran warga Han, etnis mayoritas di China, ke Xinjiang. Fenomena ini diduga sengaja diatur oleh pemerintah untuk mengurangi dominasi populasi minoritas di wilayah tersebut.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team

EditorFatimah