Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Presiden Amerika Serikat Donald Trump di Uni Emirat Arab. (The White House, Public domain, via Wikimedia Commons)
Presiden Amerika Serikat Donald Trump di Uni Emirat Arab. (The White House, Public domain, via Wikimedia Commons)

Intinya sih...

  • Perjanjian Abraham membuka hubungan diplomatik resmi Israel dengan beberapa negara Timur Tengah, namun upaya memperluasnya terhambat oleh perang di Gaza.

  • Seruan Trump menyinggung konflik antara Iran dan Israel serta menyebut Iran sebagai negara yang sangat jahat.

  • Posisi AS berbeda dengan negara Barat lain.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali menyerukan negara-negara Timur Tengah untuk menormalisasi hubungan dengan Israel. Menurutnya, sekarang adalah momen yang tepat karena persenjataan nuklir Iran telah dihancurkan.

"Sekarang setelah persenjataan nuklir yang 'diciptakan' oleh Iran telah dihancurkan total, sangat penting bagi saya agar semua Negara Timur Tengah bergabung dengan Perjanjian Abraham. Ini akan menjamin perdamaian di Timur Tengah," tulis Trump, dilansir Al Jazeera pada Jumat (8/8/2025).

1. Upaya normalisasi terhambat perang Gaza

Perjanjian Abraham merupakan kesepakatan normalisasi yang ditengahi AS pada masa jabatan pertama Trump. Perjanjian tersebut berhasil membuka hubungan diplomatik resmi Israel dengan Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Maroko.

Namun, upaya untuk memperluas perjanjian itu, terutama ke Arab Saudi, menghadapi jalan buntu. Situasi ini diperumit oleh perang di Gaza yang menurut otoritas lokal telah menewaskan lebih dari 61 ribu warga Palestina.

Riyadh sendiri berpegang pada Inisiatif Perdamaian Arab 2002. Inisiatif itu mensyaratkan berdirinya negara Palestina merdeka sebelum terjalinnya normalisasi dengan Israel. Meski begitu, pemerintahan Trump dilaporkan tetap aktif mengajak Azerbaijan dan beberapa negara Asia Tengah untuk bergabung.

2. Trump anggap Iran negara jahat

Seruan Trump menyinggung kembali konflik 12 hari antara Iran dan Israel pada Juni lalu. Konflik tersebut diakhiri dengan serangan udara AS yang menargetkan fasilitas nuklir Iran di Isfahan, Natanz, dan Fordow.

Setelah serangan itu, Iran menghentikan kerja sama dengan Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Teheran juga melarang adanya inspeksi di lokasi-lokasi yang telah dibom.

Di tengah ketegangan, Iran mengumumkan eksekusi terhadap seorang ilmuwan nuklir bernama Roozbeh Vadi. Dilansir Times of Israel, Vadi dituduh menjadi mata-mata untuk Mossad Israel dan membocorkan informasi penting terkait program nuklir.

"Iran adalah pelaku kebencian, tempat yang sangat jahat. Namun, saya pikir ini akan jauh berbeda di tahun-tahun mendatang," kata Trump dalam sebuah konferensi pers, dikutip dari Iran International.

3. Posisi AS berbeda dengan negara barat lain

ilustrasi bendera Palestina. (unsplash.com/Moslem Danesh)

Sikap AS ini berbeda dengan tren global di mana dukungan untuk mengakui Negara Palestina justru menguat. Negara-negara seperti Kanada, Prancis, dan Inggris bahkan telah mengumumkan rencana untuk mengakui kedaulatan Palestina, dilansir New Arab.

Israel juga semakin ditekan karena parahnya krisis kemanusiaan di Gaza. Berbagai badan kemanusiaan telah memperingatkan risiko kelaparan serius yang mengancam jutaan warga Palestina di wilayah tersebut.

Namun, Israel justru mengumumkan rencana perluasan operasi militer untuk menguasai seluruh Gaza. Sebelumnya, Trump telah mengisyaratkan tidak akan menghalangi rencana tersebut.

Washington merupakan pemasok utama bantuan militer tahunan senilai miliaran dolar untuk Israel. Bantuan ini dilaporkan meningkat signifikan sejak perang Gaza dimulai pada Oktober 2023.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team